Wednesday, October 15, 2025

Menuju 2030: Penulis Serba Bisa di Era Digital Modern

Konten [Tampil]

Ilustrasi penulis di era digital modern. (Di buat: leonardo.ai)

Memasuki era digital, dunia kepenulisan mengalami perubahan besar. Kini, menjadi penulis tak hanya soal kemampuan merangkai kata, tapi juga tentang menjadi penulis serba bisa di era digital. Artinya, penulis dituntut untuk menguasai banyak keterampilan: menulis, berbicara, berjejaring, hingga memahami strategi pemasaran digital agar karya tak berhenti di tumpukan naskah.

Di tahun-tahun menjelang 2030, teknologi berkembang pesat, platform digital semakin beragam, dan pembaca semakin kritis. Penulis yang ingin terus relevan perlu beradaptasi. Tak cukup hanya menulis bagus, tapi juga harus mampu menyebarkan makna dengan cara yang kreatif, menarik, dan menjangkau pembaca luas melalui berbagai media.

Tantangan Menjadi Penulis Serba Bisa di Era Digital

Menjadi penulis serba bisa di era digital berarti siap keluar dari zona nyaman. Penulis bukan lagi sosok yang hanya bersembunyi di balik layar, tetapi juga menjadi komunikator, kreator, bahkan pebisnis.

Perubahan ini bisa terasa menakutkan, namun juga membuka banyak peluang. Kini, penulis dapat menerbitkan buku secara indie, memasarkan karya lewat media sosial, membangun komunitas pembaca, hingga menghasilkan pendapatan dari konten digital.

Namun, untuk mampu melakukan itu semua, penulis harus terus belajar. Belajar storytelling, branding diri, public speaking, copywriting, dan digital marketing. Semua keterampilan ini saling melengkapi agar pesan dalam tulisan bisa sampai dan berdampak.

Keterampilan Baru untuk Penulis Masa Depan

Untuk menjadi penulis serba bisa di era digital, ada beberapa kemampuan penting yang perlu diasah:

1. Menulis dengan makna dan arah.

Tulisan bukan sekadar kata, tapi sarana menyampaikan pesan dan nilai. Penulis yang tahu arah pesannya akan lebih mudah membangun pembaca setia.

2. Beradaptasi dengan teknologi.

Menguasai platform seperti blog, YouTube, Medium, atau podcast akan membantu memperluas jangkauan karya.

3. Membangun personal branding.

Di dunia digital, nama penulis adalah “merek”. Konsistensi gaya tulisan dan nilai yang dibawa akan membuat pembaca percaya dan mengenali karakter karya kita.

4. Kemampuan negosiasi dan kolaborasi.

Dunia literasi kini erat dengan dunia bisnis dan komunitas. Penulis perlu tahu cara bernegosiasi dengan penerbit, sponsor, hingga rekan kolaborasi agar karyanya terus tumbuh.

5. Mempunyai visi literasi.

Karya yang bertahan lama adalah karya yang memberi dampak. Visi literasi akan menjadi kompas agar penulis tidak hanya menulis untuk popularitas, tetapi untuk kebermanfaatan.

Dari Penulis Biasa ke Penulis Berdampak

Era digital membuka jalan bagi siapa saja untuk menjadi penulis. Namun, tidak semua penulis bisa menjadi penulis berdampak tanpa arah dan strategi. Di sinilah pentingnya berpikir jangka panjang.

Seorang penulis serba bisa bukan hanya produktif dalam menulis, tapi juga mampu menyampaikan nilai hidup, menggerakkan perubahan, dan menginspirasi banyak orang. Dengan menguasai berbagai skill tambahan, penulis akan lebih siap menghadapi kompetisi dan perkembangan dunia digital menjelang 2030.

Misalnya, penulis yang memahami digital marketing bisa menjual bukunya secara mandiri. Penulis yang mahir berbicara bisa menjadi narasumber atau mentor literasi. Dan penulis yang kreatif bisa mengekspresikan ide melalui berbagai format—esai, video, atau konten interaktif di media sosial.

Menuju 2030: Saatnya Penulis Naik Kelas

Menjelang 2030, dunia menulis tidak akan sama lagi. Teknologi kecerdasan buatan, platform self-publishing, dan pembaca digital akan terus berkembang. Maka, penting bagi kita untuk menyiapkan diri menjadi penulis serba bisa di era digital—penulis yang tidak hanya berkarya, tapi juga berdaya.

Penulis yang mampu beradaptasi dengan perubahan, berani berinovasi, dan konsisten dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan akan menjadi bagian dari generasi literasi masa depan.

Karena sejatinya, menulis bukan hanya tentang kata, tapi tentang makna. Dan makna itu akan hidup selamanya ketika penulis terus belajar, beradaptasi, dan berdampak.

Penutup

Penulis dituntut bukan hanya untuk menulis lebih banyak, tetapi menulis dengan kesadaran, strategi, dan keberanian menghadapi perubahan. Dunia literasi kini menjadi ruang luas bagi mereka yang mau terus belajar dan berkembang. Maka, jadilah penulis yang tidak hanya menorehkan kata, tetapi juga membangun jembatan makna di tengah derasnya arus digital. Sebab, masa depan literasi ada di tangan mereka yang menulis dengan visi, beradaptasi dengan zaman, dan menebar manfaat tanpa henti.


Monday, October 13, 2025

Penerbit Mayor vs Indie Publisher: Pilih Karya atau Cuan?

Konten [Tampil]

Dibuat ChatGpt

Menulis buku adalah impian banyak orang. Namun, setelah naskah selesai, sering muncul pertanyaan besar, di mana sebaiknya buku itu diterbitkan? Dunia kepenulisan kini semakin terbuka luas. Para penulis bisa memilih antara penerbit mayor yang bergengsi atau indie publisher yang lebih mandiri. Keduanya menawarkan peluang besar, tetapi dengan konsekuensi berbeda, antara mengejar karya atau meraih cuan.

Mengenal Penerbit Mayor dan Sistem Royaltinya

Penerbit mayor adalah perusahaan besar seperti Kompas Gramedia, Mizan, atau Bentang Pustaka yang menyeleksi naskah dengan ketat. Penulis tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menerbitkan buku, karena semua proses produksi, distribusi, dan promosi ditanggung penerbit.

Namun, keuntungan penulis berasal dari royalti, biasanya sekitar 10% dari harga jual bruto. Misalnya, jika harga buku Rp100.000, maka penulis hanya mendapat Rp10.000 per eksemplar. Selain itu, penulis tidak memiliki kendali penuh terhadap harga jual, desain cover, maupun jadwal terbit.

Kelebihan penerbit mayor adalah jaminan kualitas dan reputasi. Buku yang diterbitkan melalui jalur ini biasanya tersebar di toko buku besar dan memiliki nilai prestise tersendiri bagi penulis. Tapi, prosesnya bisa panjang — mulai dari seleksi naskah, revisi, hingga keputusan diterima atau ditolak yang memakan waktu berbulan-bulan. 

Indie Publisher: Kebebasan dan Keuntungan Langsung

Berbeda dengan penerbit mayor, indie publisher memberi kesempatan bagi penulis untuk mendanai sendiri penerbitannya. Sistem ini membuat penulis memiliki kendali penuh terhadap karya, mulai dari isi buku, desain, hingga strategi penjualan.

Di Indscript, misalnya, penulis bisa berinvestasi mulai dari Rp350.000 untuk proyek buku antologi. Setelah buku jadi, seluruh keuntungan penjualan langsung menjadi milik penulis. Tidak ada sistem royalti seperti pada penerbit mayor.

Contohnya, jika harga cetak buku Rp65.000 dan dijual Rp129.000, maka selisihnya — sekitar Rp64.000 — sepenuhnya menjadi keuntungan penulis. Dengan sistem seperti ini, penulis tidak perlu menunggu laporan royalti setiap enam bulan sekali.

Selain itu, proses terbit jauh lebih cepat. Dalam beberapa minggu, buku sudah bisa dicetak dan dijual. Penulis juga bisa ikut mengatur strategi promosi, memilih tanggal rilis, dan bahkan menentukan edisi spesial sesuai keinginan.

Kelebihan dan Kekurangan Masing-Masing Sistem

Baik penerbit mayor maupun indie publisher memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Berikut beberapa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing system:

Aspek

Penerbit Mayor

Indie Publisher

Biaya

Gratis, ditanggung penerbit

Ditanggung penulis

Royalti

10–15% dari harga jual

100% keuntungan untuk penulis

Kontrol Karya

Terbatas, tergantung penerbit

Penuh di tangan penulis

Proses Terbit

Lama dan selektif

Cepat dan fleksibel

Distribusi

Luas, ke toko buku besar

Tergantung strategi pribadi

Citra Penulis

Lebih prestisius

Lebih mandiri dan kreatif

Jadi, sistem mana yang lebih baik? Jawabannya tergantung pada tujuanmu sebagai penulis. Jika kamu ingin nama besar dan distribusi nasional, penerbit mayor bisa jadi pilihan. Namun, jika kamu ingin cepat terbit, bebas berkreasi, dan mendapatkan cuan lebih besar, maka indie publisher lebih cocok.

Indscript dan Semangat Kemandirian Penulis


Sebagai indie publisher, Indscript sejak 2020 terus mendorong penulis untuk berdaya. Sistem tanpa royalti ini bukan sekadar soal keuntungan finansial, tetapi tentang memberdayakan penulis agar mandiri secara kreatif dan ekonomis.

Melalui berbagai program — seperti pelatihan menulis, kelas antologi, hingga pendampingan penerbitan — Indscript membantu penulis memahami keseluruhan proses dari menulis hingga memasarkan buku. Dengan begitu, penulis tidak hanya berkarya, tetapi juga bisa menjadikan menulis sebagai sumber penghasilan yang berkelanjutan.

Penutup

Penerbit mayor maupun indie publisher, keduanya adalah jalan sah untuk berkarya. Namun, pilihan akhirnya kembali pada niat dan visi penulis.

Jika kamu menulis untuk prestise dan nama besar, maka penerbit mayor bisa jadi pilihan. Namun, jika kamu ingin lebih cepat terbit, bebas berkarya, dan meraih cuan langsung, maka indie publisher seperti Indscript adalah jawabannya.

Yang terpenting bukan di mana bukumu diterbitkan, tetapi seberapa gigih kamu menyebarkan manfaat lewat tulisan. Di balik setiap buku yang lahir, pasti selalu ada semangat untuk berbagi dan menginspirasi banyak orang.

Saturday, October 11, 2025

Gerakan Literasi Islami: Dakwah Lewat Tulisan Penuh Pahala

Konten [Tampil]

Dok: Indscript Creative

Di tengah derasnya arus informasi dan hiburan digital, kebutuhan akan bacaan bermakna semakin mendesak. Oleh karena itu, Gerakan Literasi Islami hadir sebagai upaya nyata untuk menyalakan kembali semangat membaca, menulis, dan berdakwah di kalangan generasi muda Muslim Indonesia. Melalui gerakan ini, setiap huruf yang dibaca dan ditulis tak sekadar menjadi pengetahuan, tapi juga bisa menjadi pahala yang mengalir tanpa henti.

Apa Itu Gerakan Literasi Islami?

Gerakan Literasi Islami merupakan inisiatif yang digagas oleh Teh Indari Mastuti bersama  Joeragan Artike. Gerakan ini berfokus pada penyebaran literasi bernuansa Islami di sekolah-sekolah, pesantren, dan lembaga pendidikan di seluruh Indonesia. Tujuannya sederhana namun bermakna besar—membangun karakter generasi penerus melalui kekuatan ilmu dan nilai-nilai Islam.

Dok: Indscript Creative

Melalui donasi 1000 rupiah per buku dan kolaborasi berbagai pihak, gerakan ini akan menyalurkan buku-buku Islami ke sekolah dan pesantren, menyelenggarakan workshop literasi Islami bagi siswa dan guru, serta membantu mereka membukukan karya terbaiknya. Tidak hanya itu, setiap donatur juga mendapat apresiasi dalam bentuk penyebutan nama di video kegiatan, logo perusahaan di buku, hingga tercantum di backdrop dan flyer acara.

Dakwah Lewat Tulisan: Amal Jariyah yang Tak Pernah Putus

Menulis adalah salah satu bentuk dakwah yang memiliki kekuatan besar. Sebuah tulisan yang baik dapat menginspirasi pembacanya untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik, mendekatkan diri kepada Allah, dan menebar kebaikan di sekitarnya.

Inilah semangat utama dari misi literasi Islami: menjadikan literasi sebagai jalan dakwah. Ketika seorang siswa membaca buku Islami yang disumbangkan, atau guru menulis cerita inspiratif tentang keimanan, maka pahala juga mengalir kepada setiap pihak yang berkontribusi di dalamnya.

Seperti sabda Rasulullah SAW:

“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)

Setiap buku yang dibaca, setiap ilmu yang dibagikan, dan setiap ide yang ditulis akan menjadi amal jariyah yang terus hidup meski penulisnya telah tiada.

Peran Indscript dalam Menggerakkan Literasi Islami

Sebagai wadah perempuan penulis, Indscript terus berkomitmen menjadi bagian dari gerakan yang membawa manfaat bagi umat. Melalui inisiatif literasi bernuansa Islami, Indscript tidak hanya mendorong para penulis untuk produktif menulis, tetapi juga menanamkan nilai bahwa tulisan bisa menjadi ladang pahala.

Para penulis yang tergabung di Indscript diajak untuk ikut menyumbangkan karya terbaiknya—baik dalam bentuk artikel, buku, maupun konten dakwah yang menginspirasi. Dengan cara ini, penulis tidak sekadar berkarya untuk dikenal, tetapi juga untuk memberi nilai bagi kehidupan dan akhirat.

Mari Jadi Bagian dari Perubahan

Dok: Indscript Creative

Gerakan Literasi Islami mengundang siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap masa depan generasi Muslim untuk ikut terlibat. Setiap donasi yang diberikan akan membantu membuka akses ilmu, menghidupkan semangat menulis, dan menyalakan cahaya dakwah di sekolah-sekolah Indonesia.

Dengan bergabung, Anda tidak hanya menyumbang buku atau dana—Anda sedang menanam kebaikan yang akan terus tumbuh. Karena dalam setiap huruf yang dibaca, tersimpan pahala yang tak akan pernah putus.

📩 Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Ibu Atie di +62 878-2466-5032 atau kunjungi akun resmi @jasanulisbuku di Instagram.
Mari bersama menjadikan literasi sebagai jalan dakwah, dan tulisan sebagai warisan kebaikan bagi generasi penerus.

 

Wednesday, October 8, 2025

Jejak Buku di Jalanan Bayan: Kisah Perpustakaan Keliling Lombok

Konten [Tampil]



Beberapa waktu lalu, saat membuka Instagram, saya menemukan sebuah video wawancara sederhana. Sosok dalam video itu bukan pejabat, bukan pula selebritas, melainkan seorang lelaki bersahaja dari Lombok Utara. Namanya Asuddin Ihsan Danisa. Dari perbincangan singkat itu, saya menemukan kisah yang membuat hati bergetar: cerita tentang perpustakaan keliling di jalanan Bayan.


Tangkapan layar dari akun Instagram assudindanisa

Sebuah Perjalanan Membawa Buku

Bayangkan jalan desa di Bayan: berkelok, dikelilingi sawah, dengan udara pegunungan yang khas. Di tengah kesederhanaan itu, ada anak-anak yang menunggu dengan mata berbinar. Mereka menanti bukan mainan mahal atau gawai terbaru, melainkan buku-buku yang datang bersama motor sederhana milik Pak Asuddin.

Berbekal sekitar 120 koleksi bacaan, ia menempuh perjalanan ±13 km setiap pekan. Buku-buku itu dipinjamkan tanpa batas waktu, tanpa biaya, tanpa syarat rumit. Bagi beliau, yang penting anak-anak membaca, mengenal dunia yang lebih luas dari lembaran kertas.

Tantangan yang Mengiringi

Tentu, perjalanan ini tidak mudah. Bahan bakar motor, perawatan buku, hingga tenaga untuk bolak-balik desa semua ditanggung sendiri. Tidak ada sponsor besar, tidak ada dukungan institusi megah. Hanya semangat literasi yang menjaga langkahnya tetap kokoh.

Namun di balik semua keterbatasan itu, ada hasil yang nyata. Setiap kali ia datang, anak-anak bisa melahap dua hingga tiga buku. Antusiasme mereka adalah bukti bahwa membaca bukanlah kebiasaan yang hanya milik kota besar.

Tangkapan layar dari akun Instagram assudindanisa

Senyum Anak-anak, Cahaya Harapan

Senyum yang lahir setelah satu-dua buku selesai dibaca adalah hadiah terindah. Buku-buku yang ia bawa menjadi jendela baru, membuka cakrawala pengetahuan. Di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, literasi tumbuh pelan-pelan, namun dengan akar yang kuat.

Kisah ini mengingatkan saya bahwa literasi bukan semata soal gedung perpustakaan megah atau akses internet cepat. Literasi adalah keberanian untuk mengayuh asa, menebar ilmu, meski dengan langkah kecil.

Refleksi untuk Kita

Seringkali kita menganggap membaca adalah hal biasa, bahkan membosankan. Padahal di banyak pelosok, satu buku saja bisa berarti harapan baru. Dari Bayan, kita belajar bahwa perubahan bisa dimulai dari gerakan kecil, dari seorang manusia yang percaya bahwa ilmu layak diperjuangkan.

Pak Asuddin adalah contoh nyata pahlawan literasi—pahlawan yang tidak menunggu gelar, tetapi bekerja dalam senyap.

Penutup

Jejak buku di jalanan Bayan bukan sekadar cerita tentang sebuah motor dan tumpukan buku. Ia adalah kisah tentang harapan, perjuangan, dan keyakinan bahwa ilmu bisa menjangkau siapa saja. Semoga langkah Pak Asuddin menjadi amal jariyah, dan semoga kisahnya menginspirasi kita untuk ikut menyalakan api literasi, sekecil apa pun caranya.

Monday, October 6, 2025

Cijeruk: Lumbung Pangan Sehat dari Lereng Gunung Salak

Konten [Tampil]

Penampakan lereng Gunung Salak. (www.perumperindo.co.id)

Indonesia sejak lama telah dikenal sebagai negeri agraris. Dari Sabang sampai Merauke, memiliki hamparan tanah yang begitu subur dan melahirkan beragam komoditas pangan yang menjadi penopang kehidupan masyarakat. Namun, di balik narasi besar itu, selalu ada cerita yang menjadi bukti nyata bahwa tanah negeri kita memang kaya. Salah satunya ada di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Suatu pagi yang cerah, embun pun masih menggantung di dedaunan ketika langkah kaki menurun jalan setapak di Desa Tajur Halang. Di kejauhan tampak Gunung Salak yang berdiri kokoh, menjadi saksi bisu bagi kehidupan petani yang menggantungkan hidupnya pada hasil bumi. Dari ladang sederhana mereka ini, lahirlah cabai merah yang pedas, jahe yang menghangatkan, bawang merah yang harum hingga edadame yang kini mulai dilirik pasar mancanegara.

Potensi itu tidak hanya ada di Desa Tajur Halang, melainkan ada juga di Desa Sukaharja yang menghasilkan sayuran segar dan melimpah. Ada juga Desa Tanjungsari menghasilkan kacang tanah yang berkualitas, Desa Palasari dengan tanaman ubinya hingga Desa Cipelang yang subur dengan berbagai rempah-rempah. Cijeruk, dengan seluruh mozaik desa-desa ini, ibarat gudang pangan yang tak akan pernah habis jika dikelola dengan baik.

Namun, potensi sebesar itu seringkali terhambat dengan akses oleh keterbatasan pasar. Selain itu, minimnya inovasi pengolahan hasil bumi serta rendahnya nilai tambah bagi para petani. Dari sini hadir sebuah inisiatif, program Desa Sejahtera Astra (DSA). Melalui program inilah, Cijeruk tidak hanya bertahan sebagai penyokong kebutuhan domestik, tetapi mulai bertransformasi menjadi “lumbung pangan sehat” yang membuka jalan menuju pasar ekspor.

Tulisan ini mencoba merekam perjalanan bagaimana tanah subur di lereng Gunung Salak menjelma menjadi peluang ekonomi sekaligus harapan masa depan bagi masyarakat Cijeruk dan bangsa.

Foto: Hiroshi sanjuro / Puncak Gunung Salak Dilihat dari Cijeruk,
Bogor
/ CC BY-SA 4.0 (commons.wikimedia.org)

Latar Belakang Desa dan Potensi

Kecamatan Cijeruk terletak di sisi selatan Kota Bogor, dengan kontur tanah yang bergelombang karena berada di lereng Gunung Salak. Udara di sana begitu sejuk, memiliki curah hujan yang cukup, dan tanah vulkanik yang kaya akan mineral menjadi modal alamiah. Hal ini, membuat wilayah Cijeruk sangat cocok untuk pertanian hortikultura.
Bagi masyarakat setempat, bertani sekadar mata pencaharian, melainkan warisan leluhur yang harus selalu dijaga. Sejak dari pagi buta, para petani sudah turun ke kebun. Ada yang menanam cabai dengan penuh ketelitian karena harganya bisa fluktuatif. Ada pula yang merawat jahe yang memiliki komoditas makin naik daun setelah pandemi karena banyak manfaat bagi kesehatan. Bawang merah dan sayuran hijau pun tumbuh subur, melengkapi ragam hasil tani yang membuat Cijeruk begitu istimewa.
Tak hanya itu, Cijeruk juga dikenal dengan ubi lokalnya yang legit. lada dengan aromanya yang khas, kacang tanah yang begitu gurih, serta edamame yang mulai menjadi komoditas unggulan. Edamame yang dahulu dianggap asing, kini justru menjadi primadona yang karena diminati pasar internasional.
Meskipun begitu, petani Cijeruk menghadapi tantangan klasik klasik yakni hasil panen sering kali dijual dalam bentuk mentah dengan harga rendah. Pasar lokal di Bogor memang menyerap sebagian, tetapi akses menuju jaringan distribusi lebih luas seperti Jabodetabek masih terbatas. Petani juga belum banyak yang memiliki kemampuan atau fasilitas untuk mengolah hasil tani menjadi produk bernilai tambah.
Di titik inilah muncul refleksi bahwa kekayaan alam ternyata tidak otomatis menjamin kesejahteraan. Tanpa adanya pengelolaan yang baik, maka hasil bumi yang melimpahkan hanya akan menjadi cerita tentang tanah subur yang kurang dimanfaatkan. Maka, kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat Cijeruk adalah memperluas akses pasar, meningkatkan kemampuan pengolahan, dan memberi nilai tambah pada produk hortikultura mereka.
Hal inilah, yang membuat kehadiran program seperti Desa Sejahtera Astra menjadi sangat begitu relevan. dia bukan hanya menjawab kebutuhan ekonomi, melainkan juga menyentuh dimensi sosial dan kultural. Bagaimana desa agar tetap menjaga tradisi bertani, sekaligus menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.

Peran DSA dalam Pengembangan Hortikultura

Ilustrasi petani di lahan sayuran. Photo by Max Smith on Unsplash

Perjalanan DSA dalam mengembangkan sektor hortikultura di Cijeruk tidak berhenti pada gagasan besar semata. Program ini tumbuh dari langkah-langkah nyata di lapangan. Mulai dari pemberdayaan petani, penguatan akses pasar, hingga inovasi produk lokal. Setiap kegiatan yang dijalankan memiliki benang merah yang sama, yakni menciptakan ekosistem pertanian yang sehat, mandiri, dan berdaya saing.

Berikut beberapa langkah konkret yang telah menjadi wujud nyata peran DSA di tengah masyarakat Cijeruk:

a. Penguatan Bagi Petani Lokal

Di sebuah balai desa yang sederhana, para petani duduk melingkar mengikuti pelatihan. Mereka belajar tentang penggunaan pupuk organik, teknik budidaya modern, hingga cara menjaga kualitas tanah agar tetap subur. Ada wajah-wajah yang semula ragu, perlahan berubah menjadi penuh semangat. Edukasi ini tidak hanya menambah ilmu, tetapi juga membangun rasa percaya diri bahwa mereka mampu bersaing dengan petani dari daerah lain.

b. Peningkatan Akses Pasar

Tidak lagi hanya mengandalkan pasar tradisional di Bogor, DSA membuka jalur distribusi ke Jabodetabek. Bahkan ada perbincangan serius dengan eksportir hortikultura yang tertarik membawa jahe dan edamame Cijeruk ke luar negeri. Refleksi penting muncul di sini, dengan akses pasar yang lebih luas berarti harga yang lebih stabil, dan pada akhirnya kesejahteraan petani bisa meningkat.

c. Inovasi Produk

DSA juga mendorong diversifikasi. Jahe tidak lagi sekadar dijual dalam bentuk rimpang, tetapi diolah menjadi minuman herbal instan yang praktis. Edamame dikemas beku sehingga bisa bertahan lebih lama, sementara cabai dijemur dan dijadikan cabai kering bernilai lebih tinggi. Bahkan mulai ada upaya branding: label khusus yang menandai produk “Sehat Asal Cijeruk.” Ini bukan hanya soal kemasan, tetapi soal identitas yang ingin dikenalkan ke masyarakat luas.

d. Pemberdayaan Komunitas

Yang tak kalah penting, DSA menyentuh aspek sosial. Koperasi petani dan kelompok wanita tani mulai bergerak, membuka lapangan kerja baru di sektor pascapanen dan pemasaran. Seorang ibu di Desa Cipelang bercerita bagaimana dia kini bisa membantu ekonomi keluarga dengan ikut mengolah jahe menjadi minuman serbuk. Refleksi pun mengalir: pemberdayaan bukan hanya soal uang, tetapi tentang rasa memiliki dan percaya diri masyarakat terhadap potensi mereka sendiri.

Dampak dan Manfaat Program DSA

Seiring berjalannya waktu, tanda-tanda perubahan mulai terlihat. Berikut beberapa dampak dan manfaat program DSA di Cijeruk di berbagai sektor, diantaranya:

  • Ekonomi

Pendapatan petani meningkat. Tidak lagi hanya mengandalkan harga pasar yang fluktuatif, mereka kini punya produk olahan dan jaringan pemasaran yang lebih stabil. Beberapa UMKM baru bermunculan, terutama yang bergerak di bidang pengolahan hasil tani. Sosial Gotong royong makin terasa. Warga yang dahulu bekerja sendiri-sendiri kini terbiasa berkumpul, berdiskusi, dan membangun usaha bersama. Kemandirian pangan desa mulai tumbuh. Mereka tak lagi sekadar menanam untuk kebutuhan harian, tetapi juga berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang.

Pemandangan sawah yang indah di Cijeruk
(airterjuncijerukbogor.blogspot.com)

  • Lingkungan

Dengan praktik pertanian ramah lingkungan, lahan di kaki Gunung Salak tetap terjaga. Penggunaan pupuk organik membuat tanah lebih sehat, air tetap bersih, dan keanekaragaman hayati terlindungi. Refleksi saya sebagai penulis bahwa di era perubahan iklim, langkah kecil seperti ini justru menjadi kontribusi besar.

  • Inspirasi Nasional

Melihat geliat Cijeruk, kita bisa membayangkan sebuah model desa hortikultura yang bisa ditiru daerah lain. Desa yang tidak hanya menghasilkan pangan sehat, tetapi juga punya daya saing hingga ke pasar global.


Peluang ke Depan

Cerita Cijeruk belum selesai. Justru, babak baru sedang dimulai, menandai fase di mana potensi desa tidak hanya dilihat sebagai hasil bumi, melainkan juga sebagai peluang ekonomi, edukasi, dan sosial yang lebih luas. Dari lereng Gunung Salak, visi masa depan mulai terbentuk, dan ada beberapa jalur yang bisa ditempuh untuk mewujudkannya.

  • Menembus Pasar Internasional: Potensi Ekspor

Jahe dan edamame Cijeruk kini menarik perhatian pasar internasional. Dengan kualitas terjaga dan produksi yang konsisten, bukan hal mustahil suatu hari nanti kemasan “Produk Desa Cijeruk – Indonesia” hadir di rak supermarket luar negeri. Bayangan itu bukan sekadar mimpi, melainkan cita-cita yang bisa dicapai lewat kerja keras petani, inovasi pengolahan, dan semangat untuk terus belajar.

  • Menghidupkan Desa Lewat Pengalaman: Agro-Wisata

Selain ekspor, panorama Gunung Salak memberi modal besar bagi agro-wisata. Bayangkan paket wisata lengkap, di mana pengunjung memetik edamame langsung dari kebun, belajar membuat minuman herbal dari jahe bersama ibu-ibu desa, lalu menikmati kulainer lokal di tengah udara sejuk pegunungan. Anak-anak kota yang pertama kali mencabut edamame, atau keluarga yang belajar memetik jahe, akan pulang dengan pengalaman tak terlupakan dan rasa cinta terhadap produk lokal. Wisata berbasis pertanian ini menjadi sumber ekonomi baru sekaligus sarana edukasi bagi masyarakat luas.

  • Kekuatan Bersama: Sinergi

Semua peluang besar itu tidak akan berjalan sendiri. Astra sebagai pendamping, pemerintah sebagai fasilitator, dan masyarakat sebagai pelaku utama harus berjalan beriringan. Sinergi bukan sekadar strategi ekonomi, tetapi warisan sosial berupa jalan yang dibangun, sekolah yang diperjuangkan, dan pasar yang dibuka. Berkat kolaborasi ini, akan menjadi manfaat nyata bagi generasi berikutnya. Desa hanya bisa maju jika ada kolaborasi yang kuat, dan setiap langkah kecil hari ini menentukan arah perjalanan Cijeruk pada masa depan.

Penutup

Cijeruk telah membuktikan bahwa potensi desa tidak boleh dipandang sebelah mata. Dari tanah subur di lereng Gunung Salak, lahirlah komoditas hortikultura yang mampu menopang kebutuhan domestik sekaligus membuka jalan ke pasar internasional. Melalui program Desa Sejahtera Astra, desa-desa seperti Tajurhalang, Sukaharja, Tanjungsari, Palasari, dan Cipelang bertransformasi menjadi ikon lumbung pangan sehat.
Harapannya sederhana tetapi mendalam, dukungan berkelanjutan harus terus diberikan, agar petani desa makin sejahtera dan produk hortikultura Indonesia kian mendunia. Pada akhirnya, pesan yang begitu indah wajib untuk direnungkan: “Dari tanah Cijeruk yang subur, lahirlah pangan sehat untuk Indonesia dan dunia.”#APAxKBN2025

Ilustrasi map Cijeruk, Bogor(www.maplandia.com)

Sumber Foto dan Referensi:

https://www.perumperindo.co.id/sejarah-gunung-salak/

https://commons.wikimedia.org/wiki/File%3APuncak_Gunung_Salak_Dilihat_dari_Cijeruk%2C_Bogor.jpg?utm_source=

https://airterjuncijerukbogor.blogspot.com/2014/08/wisata-curug-putri-pelangi-bogor-nan.html?sc=1759756855668#c9179560873574865025

https://www.narasilia.com/2024/11/mengolah-kekayaan-alam-organik-di-desa-sejahtera-astra-tajur-halang.html

https://bogor-kita.com/edamame-dan-cabai-keriting-ditaman-tumpang-sari-di-desa-sukamanah/

https://www.metrobogor.com/bisnis/107115147623/kacang-edamame-jadi-komoditas-unggulan-desa-sukamanah?

https://www.tjapbukitmas.co.id/product-details/1?utm_source=

Monday, September 29, 2025

Takut pada Buku ataukah Takut pada Pikiran?

Konten [Tampil]

Buku yang sedang dibaca. Photo by Vladyslav Tobolenko on Unsplash

Mirisnya, di satu sisi kita para penggiat literasi selalu menggemakan pentingnya budaya membaca. Namun di sisi lain, aparat justru menyita buku. Bukan hanya soal hukum, tindakan itu lebih menyerupai pembodohan anak bangsa. Seakan-akan negara gentar pada sesuatu yang berada di luar jangkauan mereka: kebebasan berpikir.

Aku hanya meneruskan apa yang telah diungkapkan oleh Mbak Lolita dalam tulisannya di Medium—opini kritis dan tajam yang membuatku merenung lebih dalam. Membaca Emma Goldman tidak serta-merta menjadikan seseorang perusuh. Mempelajari Karl Marx tidak otomatis menjadikan seseorang revolusioner garis keras.

Yang sebenarnya ditakutkan bukanlah kerusuhan, melainkan kesadaran rakyat. Kerusuhan bisa dipadamkan dengan gas air mata. Tetapi pikiran yang tercerahkan tidak bisa dipenjarakan.

Hal ini mengingatkan pada kata Nelson Mandela: “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Jika pendidikan adalah senjata, maka penyitaan buku justru sama saja dengan melucuti kesadaran rakyat.

Ironisnya, persoalan buku hanyalah satu wajah dari masalah besar yang sama—rapuhnya fondasi pendidikan kita.

Setiap pagi aku membaca tujuh sampai delapan tulisan di Medium, kebetulan kemarin tulisan yang aku baca ada yang menyoroti wajah pendidikan Indonesia dari Immanuel, ia menulis “Mengapa Pendidikan di Indonesia Terasa Sulit untuk Maju?” yang membahas beberapa “Dosa Kolektif” dalam ekosistem pendidikan: guru yang tak merata kualitasnya, kesejahteraan yang timpang, kurikulum yang terus berganti, anggaran 20% yang tak pernah benar-benar utuh, hingga lemahnya birokrasi daerah.

Mas Ryandi Pratama bahkan menyebut Indonesia ibarat negeri kincir angin. Ia menulis dengan getir:

“Bisakah bangsa yang sibuk dengan hal-hal trivial membangun mobil listrik atau menciptakan inovasi yang mengubah dunia? Mungkin tidak. Kita ditakdirkan menjadi bangsa kincir angin, yang justru berputar semakin kencang ditiup angin kebodohan itu sendiri.”

Namun, Ryandi juga memberi harapan. Angin kosong itu bisa ditangkap, diubah menjadi energi. Ada Ricky Elson dengan turbin anginnya. Ada anak muda di kota yang membangun start-up untuk memecahkan masalah lokal. Ada komunitas desa yang mengolah sampah jadi energi. Ada guru-guru di sekolah yang diam-diam menyalakan nalar kritis murid-muridnya.

Mereka adalah kincir-kincir angin modern, berputar dengan tenaganya sendiri. Mengubah riuh kebodohan menjadi energi harapan.

Uda Ivan Lanin mengingatkan soal Hansei—keberanian untuk menilai jujur: melanjutkan yang baik, dan berani mengakhiri yang keliru.

Sayangnya, budaya malu membuat refleksi menjadi dangkal. Kita lebih sibuk menjaga muka daripada berani belajar dari kesalahan. Tampak pada program besar para elite politik yang lahir dari janji kampanye. Niatnya baik, tetapi pelaksanaannya menuai sorotan. Kritik soal tata kelola atau hasil sering dijawab dengan defensif. Tiada keberanian meninjau ulang, apalagi menghentikannya.

Dengan gaya berbeda-beda, dari tulisan Mbak Lolita, Immanuel, Ivan Lanin, hingga Mas Ryandi, semuanya bermuara pada satu hal: Indonesia terasa sulit untuk maju.

Pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus gamang menghadapi pikiran kritis—yang sejatinya justru bisa menjadi bahan bakar kemajuan itu sendiri? Bagaimana menurutmu?

Simak opini-opini di atas:

https://medium.com/komunitas-blogger-m/indonesia-negeri-kincir-angin-8bcbcfc9040e

https://medium.com/komunitas-blogger-m/mengapa-pendidikan-di-indonesia-terasa-sulit-untuk-maju-ab1042505cdf

https://medium.com/lentera-literasi/indonesia-anti-pikiran-kritis-77755e8c8409

Friday, September 26, 2025

Cemburu Istri Dalam Pandangan Islam: Fitrah yang Perlu Dijaga

Konten [Tampil]
Pasangan suami istri. Photo by Ahmed on Unsplash

Cemburu adalah emosi yang hampir setiap orang pernah merasakannya, terlebih dalam hubungan pernikahan. Dalam Islam, secara bahasa rasa
cemburu ini dikenal dengan istilah ghirah. Bagi seorang istri, ghirah kepada suami merupakan sesuatu yang wajar dan bahkan dianggap sebagai fitrah yang telah Allah tanamkan di dalam hati perempuan. Namun, seperti emosi lainnya, cemburu pun perlu diarahkan agar menjadi energi kebaikan, bukan sebaliknya.


𝘊𝘦𝘮𝘣𝘶𝘳𝘶 𝘐𝘵𝘶 𝘍𝘪𝘵𝘳𝘢𝘩

Rasulullah ﷺ sendiri memahami bahwa seorang wanita memiliki sifat pencemburu. Diriwayatkan bahwa Ummul Mukminin Aisyah r.a. pernah merasa cemburu, dan Rasulullah tidak menyalahkan beliau. Beliau memaklumi bahwa cemburu adalah bagian dari fitrah perempuan.

Dalam rumah tangga, ghirah seorang istri adalah tanda cinta. Ia muncul karena adanya rasa ingin menjaga dan melindungi hubungan suci dengan suaminya. Cemburu bisa menjadi pengikat emosional yang mempererat ikatan kasih sayang, selama masih berada dalam kadar yang sehat.

𝘈𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘊𝘦𝘮𝘣𝘶𝘳𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘛𝘦𝘳𝘱𝘶𝘫𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘛𝘦𝘳𝘤𝘦𝘭𝘢

Islam memandang bahwa ghirah ada dua bentuk:

1. Cemburu yang dicintai Allah

Yaitu cemburu yang timbul karena alasan syar’i. Misalnya, seorang istri merasa tidak nyaman bila suaminya terlalu dekat dengan hal-hal yang bisa menjerumuskannya pada dosa. Cemburu seperti ini adalah bentuk penjagaan, sekaligus ikhtiar menjaga kehormatan rumah tangga.


2. Cemburu yang dibenci Allah

Yaitu cemburu yang berlebihan, sampai menimbulkan tuduhan tanpa bukti, prasangka buruk, atau pertengkaran yang tidak berdasar. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya di antara ghirah ada yang dicintai Allah dan ada yang dibenci Allah…”

(HR. Ahmad, Abu Dawud).

Artinya, tidak semua cemburu terpuji. Jika cemburu berubah menjadi kontrol yang menyesakkan atau menumbuhkan rasa tidak percaya, maka justru bisa merusak keharmonisan rumah tangga.

𝘔𝘦𝘯𝘺𝘦𝘪𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘊𝘦𝘮𝘣𝘶𝘳𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘏𝘶𝘴𝘯𝘶𝘻𝘢𝘯

Dalam Islam, suami istri diajarkan untuk saling berbaik sangka (husnuzan). Ketika cemburu muncul, seorang istri bisa menyeimbangkannya dengan komunikasi yang baik dan doa agar hatinya tetap tenang. Menyampaikan rasa cemburu dengan cara lembut, bukan dengan marah-marah atau tuduhan, akan lebih mudah diterima oleh pasangan.

Rasa cemburu juga bisa diarahkan menjadi doa dan introspeksi diri. Alih-alih menumbuhkan rasa curiga yang berlebihan, cemburu bisa menjadi pengingat untuk memperbaiki hubungan, meningkatkan kualitas diri, dan memperkuat ikatan hati dengan pasangan.

𝘗𝘦𝘯𝘶𝘵𝘶𝘱

Cemburu istri kepada suaminya adalah hal yang wajar, bahkan bisa menjadi tanda cinta dan penjagaan. Islam tidak melarang sifat ini, selama tetap dalam batas yang sehat. Kuncinya ada pada keseimbangan: menjaga ghirah agar tetap terpuji, menjauhkan diri dari prasangka buruk, dan menguatkannya dengan komunikasi penuh kasih.

Karena pada akhirnya, rumah tangga yang sakinah bukanlah rumah yang bebas dari rasa cemburu, tetapi rumah yang mampu menjadikan cemburu sebagai energi untuk saling menjaga, saling memahami, dan saling menguatkan dalam ketaatan kepada Allah.