
Photo by Nic Y-C on Unsplash
Menikah bukan hanya sekadar menyatukan dua hati yang saling mencintai. Lebih dari itu, pernikahan adalah proses panjang belajar memahami berbagai perbedaan diantara dua pikiran anak manusia, belajar saling memaafkan, dan belajar untuk berlapang dada — berulang kali, tanpa henti.
Banyak orang membayangkan pernikahan seperti kisah cinta di film: romantis, hangat, dan penuh kebahagiaan. Padahal, setelah hari-hari indah di awal pernikahan, kehidupan nyata mulai mengajarkan hal yang sesungguhnya. Dua orang dengan latar belakang, kebiasaan, dan pola pikir berbeda kini hidup di bawah satu atap. Maka wajar jika akan muncul perbedaan, salah paham, dan bahkan pertengkaran kecil.
Cahyadi Takariawan, seorang konsultan pernikahan dan keluarga, pernah menulis bahwa “menikah itu artinya salah paham berkali-kali, meminta maaf berkali-kali, dan berlapang hati berkali-kali.” Kalimat ini sederhana, tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Pernikahan bukan tentang siapa yang selalu benar, melainkan tentang siapa yang mau belajar memperbaiki diri setiap kali salah.
Salah paham dalam rumah tangga bukan tanda ketidakcocokan. Itu adalah bagian dari proses saling mengenal. Kadang, suami merasa istri terlalu sensitif. Kadang pula istri merasa suami terlalu cuek. Padahal, masing-masing punya cara sendiri dalam mengekspresikan cinta. Suami mungkin menunjukkan kasih sayang lewat tindakan, sedangkan istri berharap mendengar ucapan lembut dan perhatian kecil. Dari perbedaan inilah komunikasi diuji.
Kunci dari semua itu adalah kerendahan hati untuk meminta maaf. Tidak ada yang lebih menenangkan hati pasangan selain mendengar kata, “maaf ya, aku salah.” Kata sederhana itu bisa mencairkan hati yang sedang marah dan membuka kembali pintu kasih sayang yang sempat tertutup. Tapi, meminta maaf bukan tanda kalah — justru tanda cinta dan kedewasaan.
Setelah meminta maaf, langkah berikutnya adalah berlapang hati. Artinya, tidak terus mengungkit kesalahan yang sudah lewat, tidak membalas dengan kemarahan, dan tidak menuntut kesempurnaan dari pasangan. Setiap orang punya kelemahan. Jika dalam setiap kekurangan kita masih bisa melihat kebaikan pasangan, maka cinta akan tumbuh semakin kuat.
Berlapang hati juga berarti menerima bahwa kadang pasangan tidak bisa memenuhi semua harapan kita. Mungkin suami tidak selalu peka, atau istri tidak selalu sabar. Tapi di balik semua itu, ada niat tulus untuk saling melengkapi. Di sinilah letak keindahan pernikahan — bukan karena bebas dari masalah, tapi karena tetap memilih bertahan dan berjuang bersama di tengah masalah.
Menikah juga mengajarkan kita untuk terus belajar setiap hari. Belajar sabar saat emosi datang, belajar diam saat kata-kata bisa menyakiti, belajar memeluk saat pasangan membutuhkan dukungan. Pernikahan bukan tentang mencari pasangan sempurna, tetapi menjadi pasangan yang siap tumbuh bersama.
Sebagian orang berpikir, cinta saja sudah cukup untuk mempertahankan rumah tangga. Padahal, cinta hanyalah awal. Yang membuat pernikahan bertahan lama adalah komitmen, komunikasi, dan kesediaan untuk terus memperbaiki diri. Cinta bisa berubah rasa jika tidak dijaga dengan kesabaran dan keikhlasan.
Di tengah kesibukan dan lelahnya menjalani hari, kadang kita lupa mengucap terima kasih kepada pasangan. Padahal, kata “terima kasih” juga penting seperti “maaf”. Dua kata ini menjaga kehangatan dan menghargai setiap upaya kecil yang dilakukan pasangan — sekecil apa pun.
Jadi, menikah itu bukan tentang seberapa sering kita merasa bahagia, tapi seberapa kuat kita bertahan dan belajar bersama setiap kali badai datang. Menikah adalah perjalanan panjang menuju kedewasaan, tempat dua orang saling menumbuhkan, bukan saling menyalahkan.


.png)







