![]() |
Ilustrasi meja kerja, buku catatan dan kopi. (unplash.com/Unsplash) |
Dalam dunia kepenulisan, ada satu prinsip penting yang sering terlupakan: menulis dengan tawakal. Banyak penulis terjebak dalam target hasil—berapa banyak pembaca, seberapa besar honor, atau seberapa cepat tulisan diterbitkan. Padahal, inti dari menulis bukan hanya soal hasil, tetapi juga bagaimana kita menjalani prosesnya dengan penuh usaha, doa, dan menyerahkan akhirnya kepada Allah. Inilah makna sebenarnya dari menulis dengan tawakal.
Menulis Bukan Hanya Tentang Hasil
Menulis adalah perjalanan. Setiap
kata yang ditulis lahir dari pikiran, pengalaman, dan hati. Ada kalanya seorang
penulis merasa usahanya sia-sia ketika tulisannya tidak mendapat apresiasi.
Namun di sinilah pentingnya menanamkan nilai tawakal. Usaha menulis tetap harus
dilakukan sebaik mungkin, tetapi hasil akhir—apakah tulisan diterima, dibaca
banyak orang, atau membawa penghasilan—sepenuhnya berada di luar kendali kita.
Dengan menulis dengan tawakal,
seorang penulis belajar menjaga keseimbangan antara bekerja keras dan berserah
diri. Tidak ada kekecewaan berlebihan ketika hasil tak sesuai harapan, dan
tidak ada kesombongan ketika tulisan mendapat banyak apresiasi.
Menulis dengan Tawakal sebagai Ibadah
Ketika seorang penulis meniatkan
tulisannya untuk kebaikan, maka menulis bisa menjadi ibadah. Tulisan yang
memberi manfaat, menebar inspirasi, atau sekadar menghadirkan senyuman bagi
pembaca akan bernilai pahala. Tawakal dalam menulis membuat seorang penulis
tidak hanya mengejar dunia, tetapi juga akhirat.
Sebagai contoh, seorang penulis
yang konsisten berbagi kisah hidupnya mungkin tidak langsung menuai
popularitas. Namun bisa jadi tulisannya menyentuh hati satu orang yang sedang
putus asa, lalu membangkitkan semangat hidupnya kembali. Itu adalah buah dari
menulis dengan tawakal.
Antara Usaha dan Hasil
Menulis dengan tawakal tidak
berarti pasrah tanpa usaha. Justru sebaliknya, seorang penulis harus terus
berlatih, membaca, dan memperbaiki kualitas tulisannya. Tawakal hadir setelah
usaha maksimal dilakukan. Inilah keseimbangan yang diajarkan: berikhtiar sebaik
mungkin, lalu menyerahkan hasil kepada Allah.
Seorang penulis yang tawakal akan
menemukan kedamaian. Ia tidak lagi menulis hanya demi angka dan pujian,
melainkan menulis karena cinta pada proses, cinta pada ilmu, dan cinta pada
kebermanfaatan. Hasil adalah bonus, sedangkan usaha dan tawakal adalah inti
dari perjalanan.
Penutup
Pada akhirnya, menulis dengan
tawakal adalah jalan tengah antara usaha dan hasil. Seorang penulis tetap berjuang
menghasilkan karya terbaik, tetapi hatinya tidak terikat pada penilaian
manusia. Dengan menulis dengan tawakal, kita belajar bahwa setiap kata yang
tertuang adalah bentuk ikhtiar, dan setiap hasil adalah pemberian dari Allah.