Showing posts with label lifestyle. Show all posts
Showing posts with label lifestyle. Show all posts

Saturday, November 29, 2025

Kuliner Wajib Dicoba Saat Berkunjung ke Kota Curup

Konten [Tampil]




www.indonesia-tourism.com

Kalau kamu belum pernah mendengar tentang Kota Curup, kamu tidak sendirian. Kota kecil di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, ini sering luput dari peta wisata, padahal menyimpan sejuta rasa dan cerita. Udara Curup sangat sejuk, alamnya tenang, dan yang paling kuingat sejak kecil adalah aroma makanan tradisional yang seakan menempel di udara setiap sudut kotanya.

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Curup, aku selalu merasa kota ini punya pesona unik—bukan hanya dari pegunungan dan sayur-mayurnya yang segar, tetapi juga dari kuliner khas Curup yang membuat siapa pun ingin kembali lagi.
Di blog ini, izinkan aku mengajakmu mencicipi satu per satu kuliner yang wajib kamu coba jika berkunjung ke Curup.

1. Gunjing: Kudapan Pagi yang Legendaris

Setiap pagi, aroma gunjing adalah tanda hari baru dimulai.
Kue tradisional ini dibuat dari tepung beras dan kelapa parut, dimasak dalam loyang kecil—mirip bandros khas Bogor.

Ada dua varian:

  • Original, gurih dan lembut.

  • Gula merah, manis dan harum.

Sederhana sekali, tetapi rasanya selalu berhasil menghangatkan suasana pagi di Curup. Kalau aku pulang kampung, gunjing biasanya jadi makanan pertama yang kucari.

2. Pempek Panggang Lapangan Setia Negara: Ikon Nongkrong Anak Muda

Siang atau sore, Lapangan Setia Negara selalu hidup.
Anak-anak muda biasa nongkrong sambil menikmati pempek panggang khas Curup yang dibakar perlahan di atas bara.

Bukan memakai cuko.
Pempek ini dibelah di tengah, diisi:

  • ebi halus,

  • sambal cabai merah kriting,

  • dan kecap.

Aromanya pedas–manis–asin sekaligus, dan percayalah… itu adalah aroma rindu. Aroma yang membuatku selalu ingin pulang.

3. Mie Pangsit Curup: Sarapan Andalan Warga

Belum sah ke Curup kalau belum makan mie pangsit Curup.
Mienya lembut, kuahnya ringan tapi berbumbu, dan pangsitnya punya karakter rasa khas yang hanya bisa ditemukan di kota ini.

Ini adalah menu sarapan yang tak pernah gagal mengingatkanku saat sarapan pagi bersama kelurga.

4. Kerupuk Kemplang (Kerupuk Bakar)

Oleh-oleh wajib dari Curup!
Kemplang dibakar hingga mengembang, menghasilkan aroma smokey yang khas. Gurihnya pas dan cocok dimakan kapan saja—entah sebagai camilan atau teman lauk.

Hasil tangkapan layar searching google.com

5. Lemea: Cita Rasa Asli Suku Rejang

Yang satu ini adalah identitas kuliner masyarakat Rejang.
Lemea dibuat dari ikan yang difermentasi dengan batang tebu muda parut.

Rasanya:

  • gurih,

  • sedikit asam,

  • dengan aroma fermentasi yang khas.

Meskipun aku bukan asli suku Rejang, lemea tetap menjadi hidangan wajib setiap kali pulang kampung. Bagiku, lemea bukan sekadar makanan—ia adalah simbol rumah, budaya, dan ingatan masa kecil yang tidak tergantikan.

6. Mie Celor & Miso Mang Midi: Dua Legenda yang Tak Pernah Hilang

Curup juga kebagian sentuhan khas Palembang dan Sumatra Selatan.

  • Mie Celor: Kuah santannya creamy, kaya udang, dan sangat cocok dinikmati saat udara Curup yang sejuk.

  • Miso Mang Midi: Ini legenda! Kuahnya bening gurih, topping-nya lengkap, dan rasanya konsisten sejak puluhan tahun lalu.

Kalau tanya warga Curup, hampir semua pasti punya memori dengan Miso Mang Midi.

7. Lemang Tapai: Manis, Hangat, Mengenyangkan

Perpaduan lemang yang dibakar dalam bambu dan tapai manis adalah hidangan favorit saat sore. Teksturnya lembut, manisnya pas, dan sangat cocok dinikmati sambil duduk santai melihat kabut turun.

8. Sate Padang

Sate Padang di Curup juga terkenal nikmat. Kuahnya kental, pedas, dan wangi rempah. Biasanya dijadikan pilihan cemilan malam bukan hanya porsinya mengenyangkan tetapi rasanya juga bikin nagih.

9. Sambal Tempoyak: Primadona Musim Durian

Di Curup, musim durian adalah musim penuh kebahagiaan.
Tempoyak—fermentasi durian yang dimasak dengan cabai—adalah bintangnya.

Rasanya:

  • pedas,

  • asam,

  • creamy,

  • dan unik.

Paling enak disantap bersama ikan bakar. Ini adalah menu khas yang hanya muncul di momen tertentu, sehingga terasa sangat spesial.

10. Kopi Khas Curup: Penutup Perjalanan Kuliner

Jangan lupa mencicipi kopi Curup—kopi dari dataran tinggi Rejang yang aromanya kuat tapi lembut di lidah. Cocok jadi teman bersantai sambil menikmati udara pegunungan yang dingin dan tenang.

Penutup

Curup bukan hanya kota kelahiranku; ia adalah rumah bagi rasa-rasa yang membentuk kenangan masa kecil dan kedewasaanku. Setiap makanan di kota ini punya cerita, punya jiwa, dan membawa kehangatan tersendiri.

Bagaimana kuliner khas dari kota kelahiranmu


Wednesday, November 12, 2025

Ayah: Cinta yang Bekerja dalam Diam

Konten [Tampil]

Ilustrasi ayah dan anak perempuannya. (freepik.com)

Ayah mungkin tak pandai mengungkapkan cinta dengan kata, tapi setiap lelah dan doanya adalah bukti kasih yang bekerja dalam diam. Sebuah refleksi hangat tentang cinta, tanggung jawab, dan ketulusan seorang ayah yang sering terabaikan tetapi selalu dirasakan.

Ayah sering kali terlihat sederhana—tak banyak bicara, tak pandai mengekspresikan kasih sayang seperti ibu. Namun di balik diamnya, tersimpan lautan makna yang jarang disadari. Ia adalah sosok yang bangun paling pagi dan pulang paling malam, bukan karena ingin jauh, tetapi karena cinta yang ia tunjukkan berbentuk tanggung jawab.


Dalam setiap langkahnya, ada perjuangan yang tak selalu diceritakan. Ia menahan lelah, menutupi cemas, dan tetap tersenyum agar keluarga merasa tenang. Ayah jarang berkata “aku sayang kamu”, tetapi cara ia memperbaiki atap bocor, memperbaiki mainan yang rusak, atau memastikan dapur tetap berasap—itulah bentuk cintanya yang paling nyata.

Kita mungkin tumbuh tanpa banyak pelukan darinya, tetapi perlindungannya terasa setiap kali kita jatuh dan belajar bangkit. Ia mengajarkan kita arti tangguh, bukan dengan kata-kata, melainkan dengan keteladanan. Dari ayah, kita belajar bahwa cinta tidak selalu lembut—kadang ia hadir dalam teguran, keheningan, atau bahkan ketegasan yang membuat kita mengerti arti hidup.

Seiring waktu, kita mulai memahami bahwa di balik wajahnya yang tampak keras, tersimpan hati yang lembut dan doa yang tak pernah putus. Ayah tak menuntut balasan, cukup melihat keluarganya bahagia sudah menjadi kebahagiaan baginya.

Kini, setiap kali rindu, kita sadar—betapa besar pengorbanan yang ia lakukan dalam diam. Ayah adalah cinta yang tak selalu diucapkan, tetapi selalu dirasakan. Ia adalah pahlawan tanpa jubah, yang mencintai tanpa pamrih, bekerja tanpa banyak kata, dan berdoa tanpa pernah berhenti.

Friday, November 7, 2025

Budaya Suku Rejang Sejarah Aksara Kaganga dan Tradisinya

Konten [Tampil]

Pakaian Adat Rejang Lebong. (Galeri Nusantara/2022)


Pagi menyingsing di kaki Bukit Barisan. Kabut perlahan naik dari dataran tinggi Bengkulu, seolah membawa bisikan masa lalu dari suku yang telah lama mengakar di tanah pegunungan, yakni Suku Rejang. Meskipun zaman telah bergerak ke arah modern, budaya Suku Rejang tetap menjadi identitas penting masyarakatnya, diwariskan dari generasi ke generasi.

Artikel ini akan membimbing pembaca mengenal lebih dekat Rejang dan budaya Suku Rejang secara edukatif tetapi ringan, mengalir seperti cerita yang tak lekang oleh waktu.

1. Asal Usul Rejang: Jejak Leluhur di Pedalaman Bengkulu

Suku Rejang. (Wikipedia)

Banyak cerita turun-temurun menyebut bahwa leluhur Suku Rejang berasal dari seorang tokoh bernama Rhe Jang Hyang (atau Rhe Hyang), yang dipercaya datang dari daerah utara Asia dan menetap di Napal Putih, Bengkulu Utara, sekitar dua ribu tahun sebelum masehi. Di sanalah ia membangun permukiman awal bernama Kutai Nuak, sebelum akhirnya kelompoknya berpindah ke wilayah Pinang Belapis (sekarang Kabupaten Lebong).

Walau unsur mitos masih kuat, para peneliti sepakat bahwa Rejang adalah salah satu suku tertua di Bengkulu, yang berkembang secara mandiri di kawasan pedalaman Bukit Barisan. Alam yang kaya hutan, sungai, dan perbukitan membentuk karakter masyarakat Rejang yang tangguh, bersahaja, dan sangat dekat dengan alam.

Sistem sosial mereka pun sudah teratur sejak dulu. Ada petulai (keluarga besar adat) dan kutei (pemimpin adat) yang menjaga hukum dan keseimbangan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa walau hidup jauh dari pesisir, masyarakat Rejang sudah memiliki struktur sosial yang rapi dan beradab.

2. Aksara Kaganga: Warisan Tertulis Identitas Rejang

Aksara Kaganga.(wikipedia)

Salah satu kebanggaan terbesar Suku Rejang adalah Aksara Kaganga, sistem tulisan tradisional yang menjadi bukti kecerdasan lokal mereka. Nama “Kaganga” diambil dari tiga huruf pertamanya: Ka-Ga-Nga.

Aksara ini merupakan bagian dari keluarga besar Surat Ulu di Sumatra Selatan, dan berakar dari aksara Brahmi/Palawa India kuno. Dulu, masyarakat Rejang menulis dengan aksara ini di atas bambu, tanduk, kulit kayu, atau rotan, mencatat pesan, hukum adat, doa, dan kisah rakyat.

Kini, Aksara Kaganga mulai diajarkan kembali di sekolah-sekolah Rejang Lebong sebagai muatan lokal (MULOK). Pemerintah daerah juga membuat buku panduan dan alat belajar agar generasi muda tidak melupakan jati dirinya. Meski tantangan besar datang dari arus modernisasi dan dominasi huruf Latin, semangat untuk melestarikannya terus tumbuh.

Aksara Kaganga bukan sekadar tulisan—ia adalah simbol kebanggaan dan kecerdasan budaya Rejang, bukti bahwa nenek moyang mereka pernah memiliki sistem pengetahuan sendiri jauh sebelum pendidikan modern masuk.

3. Tradisi Pernikahan Adat Rejang

Acara adat suku Rejang. (bengkulu.sahabatrakyat.com)

Upacara pernikahan dalam masyarakat Rejang sangat sakral. Setiap tahapannya penuh makna tentang tanggung jawab, kehormatan, dan penyatuan dua jiwa.Beberapa tahap penting antara lain:

  • Bekulo 
Musyawarah antara dua keluarga sebelum pernikahan. Ini menegaskan bahwa perkawinan bukan hanya urusan dua orang, tapi penyatuan dua keluarga besar.
  • Meletak Uang 
Simbol penyerahan tanggung jawab dan niat baik dari pihak laki-laki kepada keluarga perempuan.
  • Mengasen 
Ritual penyucian untuk menandai kesiapan kedua mempelai memasuki kehidupan baru.
  • Sembah Sujud 
Bentuk penghormatan dan permohonan maaf kepada orang tua serta leluhur.
  • Jemejai 
Tahap penyatuan dua mempelai secara adat, biasanya disertai jamuan besar bagi seluruh masyarakat.

Setiap prosesi mengajarkan nilai luhur, diantaranya menghargai keluarga, menjaga kehormatan, serta menyatukan dua hati dengan restu masyarakat dan leluhur. Pernikahan adat Rejang bukan sekadar pesta, melainkan ritual sosial dan spiritual yang mempererat hubungan antar-keluarga.

4. Tari Kejai: Gerak yang Sarat Akan Makna

Tari kejei. (pojokseni.com)

Salah satu warisan budaya paling indah dari Rejang adalah Tari Kejai. Dulu, tarian ini hanya dipentaskan pada acara adat besar seperti pernikahan atau syukuran. Gerakannya lembut, penuh penghormatan, dan diiringi musik tradisional yang khas.

Beberapa gerakannya memiliki makna simbolik, seperti:

  • Gerak Sembah – bentuk penghormatan kepada leluhur dan tamu;

  • Metik Jari – menggambarkan kerja sama antara laki-laki dan perempuan;

  • Mateak Dayung – simbol penyerahan diri kepada Tuhan;

  • Gerak Mendayung – tanda perpisahan yang indah di akhir pertunjukan.

Melalui tarian ini, masyarakat Rejang mengekspresikan rasa syukur dan harmoni hidup dengan alam serta sesama.

5. Tantangan dan Harapan Budaya Rejang

Seiring kemajuan zaman, penggunaan bahasa Rejang dan aksara Kaganga mulai jarang dipakai. Namun, upaya pelestarian terus dilakukan oleh pemerintah, komunitas budaya, dan generasi muda yang bangga akan warisannya.

Budaya Rejang tetap relevan hingga kini karena nilai-nilainya universal: kebersamaan, hormat kepada orang tua, dan keselarasan dengan alam. Nilai-nilai ini penting bagi generasi muda untuk menjaga identitas di tengah globalisasi.

Penutup

Budaya Rejang bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan cermin kearifan dan jati diri masyarakat Bengkulu. Saat seorang siswa menulis huruf “Ka” dari Aksara Kaganga, sesungguhnya ia sedang menghidupkan kembali sejarah panjang suku yang penuh makna.

Mari kita kenali dan lestarikan budaya lokal kita—karena dari sanalah akar kebanggaan sebagai bangsa tumbuh kuat dan tidak mudah goyah oleh waktu.


Daftar Referensi

Agus, I. (2013). Aksara Ka-Ga-Nga: Identitas dan Tradisi Literasi Masyarakat Bengkulu. Jurnal Humaniora, Universitas Indonesia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (1996). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Rejang Lebong. (2019). Modul Muatan Lokal Aksara Kaganga. Curup: Disdikbud Rejang Lebong.

Fitriani, D. & Yuliani, E. (2021). Pelestarian Aksara Kaganga sebagai Identitas Budaya Rejang Lebong. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Daerah, Vol. 5 No. 2.

Hidayat, R. (2017). Sistem Sosial dan Struktur Adat Masyarakat Rejang di Bengkulu. Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Indonesia.

Nasution, S. (2020). Kehidupan Sosial dan Tradisi Pernikahan Suku Rejang di Bengkulu. Jurnal Kebudayaan Nusantara, Vol. 4 No. 1.

Pemerintah Provinsi Bengkulu. (2022). Warisan Budaya Takbenda Indonesia: Aksara Kaganga dan Tari Kejai. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI.

Suharto, A. & Mansyur, S. (2015). Naskah dan Aksara Tradisional Sumatera Bagian Selatan. Jakarta: Balai Litbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI.

Tempo.co. (2023, 12 Juni). “Mengenal Suku Rejang, Suku Tertua di Bengkulu dengan Aksara Kaganga yang Unik.” 

Wikipedia Bahasa Indonesia. (2024). “Suku Rejang.” Wikipedia.org.

Thursday, October 23, 2025

Mengungkap Pesona Taman Wisata Alam Bukit Kaba Bengkulu

Konten [Tampil]

Dokumen Pribadi: Penampakan kawah Bukit Kaba

Bengkulu merupakan provinsi yang kaya dengan wisata alam. Mata kita tidak hanya dimanjakan dengan keindahan alamnya, tetapi sekaligus menyaksikan fenoman keajaiban alam seperti yang ada di taman wisata alam Bukit Kaba. Bumi Raflesia memiliki beberapa gunung berapi yang aktif, termasuk salah satunya Gunung Kaba atau lebih dikenal dengan sebutan Bukit Kaba.

Bukit Kaba dengan keindahan alamnya yang memukau terletak di desa Wisata Sumber Urip, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Bukit Kaba, dari Kota Curup, lokasinya tepat berada di sebelah tenggara dengan jarak lebih kurang 15 kilometer.

Memiliki pesona yang sangat sempurna terutama bagi para pencinta petualangan dan keindahan alam. Bukit Kaba dengan Keindahan alam tidak hanya menarik bagi para pendaki tetapi juga wisatawan baik lokal maupun domestik.

Dengan panorama pegunungan yang memukau dan udara yang sejuk, Bukit Kaba menawarkan pengalaman petualangan alam yang sangat menakjubkan. Di dalam artikel ini, akan mengungkap pesona taman wisata alam Bukit Kaba, seperti apa jalur pendakiannya, hingga tips berkunjung ke taman wisata alam Bukit Kaba yang menjadi salah satu primadona wisata bagi provinsi Bengkulu.

 

1. Keindahan Alam Bukit Kaba

Bukit Kaba memiliki pemandangan indah dengan hutan tropis yang masih alami, serta kawahnya yang menjadi daya tarik utama bagi pengunjung. Bukit Kaba dengan ketinggian sekitar 1.952 meter di atas permukaan laut memiliki delapan kawah gunung berapi, meskipun lima di antaranya tertutup oleh vegetasi alam. Puncaknya menawarkan pemandangan eksotis dengan kawah hijau dan putih kecoklatan karena

Selain itu, keunikan Bukit Kaba adalah memiliki dua kawah aktif yang mengeluarkan asap belerang. Di puncaknya, pengunjung dapat menikmati panorama pegunungan yang sangat memanjakan mata, terutama di saat matahari terbit atau terbenam.

Salah satu daya tarik utama di Bukit Kaba adalah adanya dua kawah aktif yang biasa dikenal dengan sebutan Kawah Mati dan Kawah Hidup. Kedua kawah ini memberikan panorama unik dan pengalaman yang berbeda bagi para pengunjung.

Kawah Hidup

Kawah Hidup adalah kawah yang masih aktif dan mengeluarkan asap belerang. Di sini, pengunjung bisa melihat fenomena alam berupa uap panas yang menyembur dari dasar kawah, memberikan kesan dramatis dan menegangkan. Bau belerang yang khas menambah nuansa vulkanik yang alami. Meski aktif, kawasan ini tetap aman untuk dikunjungi selama mengikuti petunjuk keselamatan.

Kawah Mati

Kawah Mati, seperti namanya, adalah kawah yang sudah tidak lagi aktif. Kawah ini lebih tenang dibandingkan Kawah Hidup, tanpa semburan uap panas atau bau belerang. Pemandangan di sekitar Kawah Mati terlihat lebih datar dengan warna tanah yang cenderung pucat, namun tetap memancarkan pesona yang misterius. Kawah ini menjadi favorit bagi para fotografer karena latarnya yang eksotis dan atmosfernya yang seakan membawa pengunjung ke dunia lain.

Apa yang Membuat Kawah Mati dan Kawah Hidup Menarik?

Kedua kawah ini tidak hanya menampilkan perbedaan aktivitas vulkanik, tetapi juga menawarkan simbol kehidupan alam yang terus berproses. Kawah Hidup menggambarkan energi dan kekuatan bumi, sedangkan Kawah Mati menunjukkan keindahan dari kondisi alam yang lebih tenang dan sudah berproses.

2. Daya Tarik Lainnya di Sekitar Bukit Kaba

Di sekitar Taman Wisata Alam Bukit Kaba, ada beberapa spot menarik yang bisa dijelajahi, seperti sumber air panas alami dan air terjun yang tersembunyi. Pengunjung bisa mampir ke pemandian air panas untuk merilekskan tubuh setelah perjalanan panjang.

3. Flora dan Fauna yang Unik

Taman Wisata Alam Bukit Kaba menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna khas hutan tropis. Dahulu, lokasi ini digunakan sebagai cagar alam perlindungan bagi bunga Rafflesia Arnoldii. Sekarang, telah menjadi taman lindung bagi beberapa flora Sumatra. Pengunjung bisa menemukan tanaman endemik seperti bunga bangkai (Amorphophallus titanum) yang sangat langka dan beberapa spesies anggrek liar. Satwa yang biasa terlihat termasuk burung-burung eksotis, kera ekor panjang, siamang dan rusa.

4. Tips Berkunjung ke Bukit Kaba

·         Persiapkan Fisik

Pastikan tubuh dalam kondisi fit, terutama jika memilih jalur pendakian alami.

·         Bawa Perlengkapan Mendaki yang Sesuai

Seperti sepatu gunung, jaket tebal, serta bekal makanan dan minuman yang cukup.

·         Waktu Terbaik Berkunjung

Waktu terbaik untuk menuju wisata alam Bukit Kaba adalah pagi hari atau menjelang sore, saat cuaca sejuk dan cerah sehingga dapat menikmati panorama alam.

·         Gunakan Masker

Menggunakan masker terutama saat kita mengunjungi Kawah Hidup, karena uap belerang dapat membuat kita merasa tidak nyaman.

·         Tetap di Jalur yang Disediakan

Kawasan sekitar kawah bisa licin dan berbahaya, maka pastikan untuk mengikuti jalur yang aman.

·         Menghargai Alam

Tidak membuang sampah sembarangan, dan hindari merusak flora atau mengganggu fauna di sekitarnya.

5. Cara Menuju Taman Wisata Alam Bukit Kaba

Untuk mencapai Bukit Kaba, pengunjung bisa memulai perjalanan dari Kota Bengkulu menuju Kecamatan Curup, dengan waktu tempuh sekitar 3 jam perjalanan darat. Setelah tiba di desa Sumber Urip, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan menuju pos pendakian dengan kendaraan pribadi atau ojek lokal. Perjalanan ini cukup menantang karena jalur menuju pos pendakian cenderung terjal dan berbatu. Dari pos pendakian, pengunjung dapat memilih salah satu dari dua jalur: jalur anak tangga atau jalur pendakian alami. Keduanya mengarah langsung ke puncak Bukit Kaba dengan waktu tempuh 2-3 jam perjalanan.

Penutup

Bukit Kaba bukan hanya sekadar tempat untuk menikmati pemandangan alam, tetapi juga tempat yang menawarkan kedamaian, ketenangan, dan pengalaman yang mengesankan. Dengan keindahan alam yang masih terjaga dan berbagai daya tarik uniknya, Bukit Kaba layak untuk masuk di dalam daftar perjalanan para pencinta alam. Persiapkan diri kita, dan nikmati keindahan alam Bukit Kaba yang tak terlupakan.

Note: tulisan ini pernah aku upload di 

https://bintang5.id/mengungkap-pesona-taman-wisata-alam-bukit-kaba-bengkulu/

Menikah Itu Artinya Berkali-kali Belajar Memahami

Konten [Tampil]

Photo by Nic Y-C on Unsplash

Menikah bukan hanya sekadar menyatukan dua hati yang saling mencintai. Lebih dari itu, pernikahan adalah proses panjang belajar memahami berbagai perbedaan diantara dua pikiran anak manusia, belajar saling memaafkan, dan belajar untuk berlapang dada — berulang kali, tanpa henti.

Banyak orang membayangkan pernikahan seperti kisah cinta di film: romantis, hangat, dan penuh kebahagiaan. Padahal, setelah hari-hari indah di awal pernikahan, kehidupan nyata mulai mengajarkan hal yang sesungguhnya. Dua orang dengan latar belakang, kebiasaan, dan pola pikir berbeda kini hidup di bawah satu atap. Maka wajar jika akan muncul perbedaan, salah paham, dan bahkan pertengkaran kecil.

Cahyadi Takariawan, seorang konsultan pernikahan dan keluarga, pernah menulis bahwa “menikah itu artinya salah paham berkali-kali, meminta maaf berkali-kali, dan berlapang hati berkali-kali.” Kalimat ini sederhana, tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Pernikahan bukan tentang siapa yang selalu benar, melainkan tentang siapa yang mau belajar memperbaiki diri setiap kali salah.

Salah paham dalam rumah tangga bukan tanda ketidakcocokan. Itu adalah bagian dari proses saling mengenal. Kadang, suami merasa istri terlalu sensitif. Kadang pula istri merasa suami terlalu cuek. Padahal, masing-masing punya cara sendiri dalam mengekspresikan cinta. Suami mungkin menunjukkan kasih sayang lewat tindakan, sedangkan istri berharap mendengar ucapan lembut dan perhatian kecil. Dari perbedaan inilah komunikasi diuji.

Kunci dari semua itu adalah kerendahan hati untuk meminta maaf. Tidak ada yang lebih menenangkan hati pasangan selain mendengar kata, “maaf ya, aku salah.” Kata sederhana itu bisa mencairkan hati yang sedang marah dan membuka kembali pintu kasih sayang yang sempat tertutup. Tapi, meminta maaf bukan tanda kalah — justru tanda cinta dan kedewasaan.

Setelah meminta maaf, langkah berikutnya adalah berlapang hati. Artinya, tidak terus mengungkit kesalahan yang sudah lewat, tidak membalas dengan kemarahan, dan tidak menuntut kesempurnaan dari pasangan. Setiap orang punya kelemahan. Jika dalam setiap kekurangan kita masih bisa melihat kebaikan pasangan, maka cinta akan tumbuh semakin kuat.

Berlapang hati juga berarti menerima bahwa kadang pasangan tidak bisa memenuhi semua harapan kita. Mungkin suami tidak selalu peka, atau istri tidak selalu sabar. Tapi di balik semua itu, ada niat tulus untuk saling melengkapi. Di sinilah letak keindahan pernikahan — bukan karena bebas dari masalah, tapi karena tetap memilih bertahan dan berjuang bersama di tengah masalah.

Menikah juga mengajarkan kita untuk terus belajar setiap hari. Belajar sabar saat emosi datang, belajar diam saat kata-kata bisa menyakiti, belajar memeluk saat pasangan membutuhkan dukungan. Pernikahan bukan tentang mencari pasangan sempurna, tetapi menjadi pasangan yang siap tumbuh bersama.

Sebagian orang berpikir, cinta saja sudah cukup untuk mempertahankan rumah tangga. Padahal, cinta hanyalah awal. Yang membuat pernikahan bertahan lama adalah komitmen, komunikasi, dan kesediaan untuk terus memperbaiki diri. Cinta bisa berubah rasa jika tidak dijaga dengan kesabaran dan keikhlasan.

Di tengah kesibukan dan lelahnya menjalani hari, kadang kita lupa mengucap terima kasih kepada pasangan. Padahal, kata “terima kasih” juga penting seperti “maaf”. Dua kata ini menjaga kehangatan dan menghargai setiap upaya kecil yang dilakukan pasangan — sekecil apa pun.

Jadi, menikah itu bukan tentang seberapa sering kita merasa bahagia, tapi seberapa kuat kita bertahan dan belajar bersama setiap kali badai datang. Menikah adalah perjalanan panjang menuju kedewasaan, tempat dua orang saling menumbuhkan, bukan saling menyalahkan.

Karena sejatinya, menikah itu bukan menemukan orang yang sempurna, tapi belajar mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna — penuh maaf, sabar, dan lapang hati.


Wednesday, October 15, 2025

Menuju 2030: Penulis Serba Bisa di Era Digital Modern

Konten [Tampil]

Ilustrasi penulis di era digital modern. (Di buat: leonardo.ai)

Memasuki era digital, dunia kepenulisan mengalami perubahan besar. Kini, menjadi penulis tak hanya soal kemampuan merangkai kata, tapi juga tentang menjadi penulis serba bisa di era digital. Artinya, penulis dituntut untuk menguasai banyak keterampilan: menulis, berbicara, berjejaring, hingga memahami strategi pemasaran digital agar karya tak berhenti di tumpukan naskah.

Di tahun-tahun menjelang 2030, teknologi berkembang pesat, platform digital semakin beragam, dan pembaca semakin kritis. Penulis yang ingin terus relevan perlu beradaptasi. Tak cukup hanya menulis bagus, tapi juga harus mampu menyebarkan makna dengan cara yang kreatif, menarik, dan menjangkau pembaca luas melalui berbagai media.

Tantangan Menjadi Penulis Serba Bisa di Era Digital

Menjadi penulis serba bisa di era digital berarti siap keluar dari zona nyaman. Penulis bukan lagi sosok yang hanya bersembunyi di balik layar, tetapi juga menjadi komunikator, kreator, bahkan pebisnis.

Perubahan ini bisa terasa menakutkan, namun juga membuka banyak peluang. Kini, penulis dapat menerbitkan buku secara indie, memasarkan karya lewat media sosial, membangun komunitas pembaca, hingga menghasilkan pendapatan dari konten digital.

Namun, untuk mampu melakukan itu semua, penulis harus terus belajar. Belajar storytelling, branding diri, public speaking, copywriting, dan digital marketing. Semua keterampilan ini saling melengkapi agar pesan dalam tulisan bisa sampai dan berdampak.

Keterampilan Baru untuk Penulis Masa Depan

Untuk menjadi penulis serba bisa di era digital, ada beberapa kemampuan penting yang perlu diasah:

1. Menulis dengan makna dan arah.

Tulisan bukan sekadar kata, tapi sarana menyampaikan pesan dan nilai. Penulis yang tahu arah pesannya akan lebih mudah membangun pembaca setia.

2. Beradaptasi dengan teknologi.

Menguasai platform seperti blog, YouTube, Medium, atau podcast akan membantu memperluas jangkauan karya.

3. Membangun personal branding.

Di dunia digital, nama penulis adalah “merek”. Konsistensi gaya tulisan dan nilai yang dibawa akan membuat pembaca percaya dan mengenali karakter karya kita.

4. Kemampuan negosiasi dan kolaborasi.

Dunia literasi kini erat dengan dunia bisnis dan komunitas. Penulis perlu tahu cara bernegosiasi dengan penerbit, sponsor, hingga rekan kolaborasi agar karyanya terus tumbuh.

5. Mempunyai visi literasi.

Karya yang bertahan lama adalah karya yang memberi dampak. Visi literasi akan menjadi kompas agar penulis tidak hanya menulis untuk popularitas, tetapi untuk kebermanfaatan.

Dari Penulis Biasa ke Penulis Berdampak

Era digital membuka jalan bagi siapa saja untuk menjadi penulis. Namun, tidak semua penulis bisa menjadi penulis berdampak tanpa arah dan strategi. Di sinilah pentingnya berpikir jangka panjang.

Seorang penulis serba bisa bukan hanya produktif dalam menulis, tapi juga mampu menyampaikan nilai hidup, menggerakkan perubahan, dan menginspirasi banyak orang. Dengan menguasai berbagai skill tambahan, penulis akan lebih siap menghadapi kompetisi dan perkembangan dunia digital menjelang 2030.

Misalnya, penulis yang memahami digital marketing bisa menjual bukunya secara mandiri. Penulis yang mahir berbicara bisa menjadi narasumber atau mentor literasi. Dan penulis yang kreatif bisa mengekspresikan ide melalui berbagai format—esai, video, atau konten interaktif di media sosial.

Menuju 2030: Saatnya Penulis Naik Kelas

Menjelang 2030, dunia menulis tidak akan sama lagi. Teknologi kecerdasan buatan, platform self-publishing, dan pembaca digital akan terus berkembang. Maka, penting bagi kita untuk menyiapkan diri menjadi penulis serba bisa di era digital—penulis yang tidak hanya berkarya, tapi juga berdaya.

Penulis yang mampu beradaptasi dengan perubahan, berani berinovasi, dan konsisten dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan akan menjadi bagian dari generasi literasi masa depan.

Karena sejatinya, menulis bukan hanya tentang kata, tapi tentang makna. Dan makna itu akan hidup selamanya ketika penulis terus belajar, beradaptasi, dan berdampak.

Penutup

Penulis dituntut bukan hanya untuk menulis lebih banyak, tetapi menulis dengan kesadaran, strategi, dan keberanian menghadapi perubahan. Dunia literasi kini menjadi ruang luas bagi mereka yang mau terus belajar dan berkembang. Maka, jadilah penulis yang tidak hanya menorehkan kata, tetapi juga membangun jembatan makna di tengah derasnya arus digital. Sebab, masa depan literasi ada di tangan mereka yang menulis dengan visi, beradaptasi dengan zaman, dan menebar manfaat tanpa henti.


Monday, October 13, 2025

Penerbit Mayor vs Indie Publisher: Pilih Karya atau Cuan?

Konten [Tampil]

Dibuat ChatGpt

Menulis buku adalah impian banyak orang. Namun, setelah naskah selesai, sering muncul pertanyaan besar, di mana sebaiknya buku itu diterbitkan? Dunia kepenulisan kini semakin terbuka luas. Para penulis bisa memilih antara penerbit mayor yang bergengsi atau indie publisher yang lebih mandiri. Keduanya menawarkan peluang besar, tetapi dengan konsekuensi berbeda, antara mengejar karya atau meraih cuan.

Mengenal Penerbit Mayor dan Sistem Royaltinya

Penerbit mayor adalah perusahaan besar seperti Kompas Gramedia, Mizan, atau Bentang Pustaka yang menyeleksi naskah dengan ketat. Penulis tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menerbitkan buku, karena semua proses produksi, distribusi, dan promosi ditanggung penerbit.

Namun, keuntungan penulis berasal dari royalti, biasanya sekitar 10% dari harga jual bruto. Misalnya, jika harga buku Rp100.000, maka penulis hanya mendapat Rp10.000 per eksemplar. Selain itu, penulis tidak memiliki kendali penuh terhadap harga jual, desain cover, maupun jadwal terbit.

Kelebihan penerbit mayor adalah jaminan kualitas dan reputasi. Buku yang diterbitkan melalui jalur ini biasanya tersebar di toko buku besar dan memiliki nilai prestise tersendiri bagi penulis. Tapi, prosesnya bisa panjang — mulai dari seleksi naskah, revisi, hingga keputusan diterima atau ditolak yang memakan waktu berbulan-bulan. 

Indie Publisher: Kebebasan dan Keuntungan Langsung

Berbeda dengan penerbit mayor, indie publisher memberi kesempatan bagi penulis untuk mendanai sendiri penerbitannya. Sistem ini membuat penulis memiliki kendali penuh terhadap karya, mulai dari isi buku, desain, hingga strategi penjualan.

Di Indscript, misalnya, penulis bisa berinvestasi mulai dari Rp350.000 untuk proyek buku antologi. Setelah buku jadi, seluruh keuntungan penjualan langsung menjadi milik penulis. Tidak ada sistem royalti seperti pada penerbit mayor.

Contohnya, jika harga cetak buku Rp65.000 dan dijual Rp129.000, maka selisihnya — sekitar Rp64.000 — sepenuhnya menjadi keuntungan penulis. Dengan sistem seperti ini, penulis tidak perlu menunggu laporan royalti setiap enam bulan sekali.

Selain itu, proses terbit jauh lebih cepat. Dalam beberapa minggu, buku sudah bisa dicetak dan dijual. Penulis juga bisa ikut mengatur strategi promosi, memilih tanggal rilis, dan bahkan menentukan edisi spesial sesuai keinginan.

Kelebihan dan Kekurangan Masing-Masing Sistem

Baik penerbit mayor maupun indie publisher memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Berikut beberapa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing system:

Aspek

Penerbit Mayor

Indie Publisher

Biaya

Gratis, ditanggung penerbit

Ditanggung penulis

Royalti

10–15% dari harga jual

100% keuntungan untuk penulis

Kontrol Karya

Terbatas, tergantung penerbit

Penuh di tangan penulis

Proses Terbit

Lama dan selektif

Cepat dan fleksibel

Distribusi

Luas, ke toko buku besar

Tergantung strategi pribadi

Citra Penulis

Lebih prestisius

Lebih mandiri dan kreatif

Jadi, sistem mana yang lebih baik? Jawabannya tergantung pada tujuanmu sebagai penulis. Jika kamu ingin nama besar dan distribusi nasional, penerbit mayor bisa jadi pilihan. Namun, jika kamu ingin cepat terbit, bebas berkreasi, dan mendapatkan cuan lebih besar, maka indie publisher lebih cocok.

Indscript dan Semangat Kemandirian Penulis


Sebagai indie publisher, Indscript sejak 2020 terus mendorong penulis untuk berdaya. Sistem tanpa royalti ini bukan sekadar soal keuntungan finansial, tetapi tentang memberdayakan penulis agar mandiri secara kreatif dan ekonomis.

Melalui berbagai program — seperti pelatihan menulis, kelas antologi, hingga pendampingan penerbitan — Indscript membantu penulis memahami keseluruhan proses dari menulis hingga memasarkan buku. Dengan begitu, penulis tidak hanya berkarya, tetapi juga bisa menjadikan menulis sebagai sumber penghasilan yang berkelanjutan.

Penutup

Penerbit mayor maupun indie publisher, keduanya adalah jalan sah untuk berkarya. Namun, pilihan akhirnya kembali pada niat dan visi penulis.

Jika kamu menulis untuk prestise dan nama besar, maka penerbit mayor bisa jadi pilihan. Namun, jika kamu ingin lebih cepat terbit, bebas berkarya, dan meraih cuan langsung, maka indie publisher seperti Indscript adalah jawabannya.

Yang terpenting bukan di mana bukumu diterbitkan, tetapi seberapa gigih kamu menyebarkan manfaat lewat tulisan. Di balik setiap buku yang lahir, pasti selalu ada semangat untuk berbagi dan menginspirasi banyak orang.

Monday, October 6, 2025

Cijeruk: Lumbung Pangan Sehat dari Lereng Gunung Salak

Konten [Tampil]

Penampakan lereng Gunung Salak. (www.perumperindo.co.id)

Indonesia sejak lama telah dikenal sebagai negeri agraris. Dari Sabang sampai Merauke, memiliki hamparan tanah yang begitu subur dan melahirkan beragam komoditas pangan yang menjadi penopang kehidupan masyarakat. Namun, di balik narasi besar itu, selalu ada cerita yang menjadi bukti nyata bahwa tanah negeri kita memang kaya. Salah satunya ada di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Suatu pagi yang cerah, embun pun masih menggantung di dedaunan ketika langkah kaki menurun jalan setapak di Desa Tajur Halang. Di kejauhan tampak Gunung Salak yang berdiri kokoh, menjadi saksi bisu bagi kehidupan petani yang menggantungkan hidupnya pada hasil bumi. Dari ladang sederhana mereka ini, lahirlah cabai merah yang pedas, jahe yang menghangatkan, bawang merah yang harum hingga edadame yang kini mulai dilirik pasar mancanegara.

Potensi itu tidak hanya ada di Desa Tajur Halang, melainkan ada juga di Desa Sukaharja yang menghasilkan sayuran segar dan melimpah. Ada juga Desa Tanjungsari menghasilkan kacang tanah yang berkualitas, Desa Palasari dengan tanaman ubinya hingga Desa Cipelang yang subur dengan berbagai rempah-rempah. Cijeruk, dengan seluruh mozaik desa-desa ini, ibarat gudang pangan yang tak akan pernah habis jika dikelola dengan baik.

Namun, potensi sebesar itu seringkali terhambat dengan akses oleh keterbatasan pasar. Selain itu, minimnya inovasi pengolahan hasil bumi serta rendahnya nilai tambah bagi para petani. Dari sini hadir sebuah inisiatif, program Desa Sejahtera Astra (DSA). Melalui program inilah, Cijeruk tidak hanya bertahan sebagai penyokong kebutuhan domestik, tetapi mulai bertransformasi menjadi “lumbung pangan sehat” yang membuka jalan menuju pasar ekspor.

Tulisan ini mencoba merekam perjalanan bagaimana tanah subur di lereng Gunung Salak menjelma menjadi peluang ekonomi sekaligus harapan masa depan bagi masyarakat Cijeruk dan bangsa.

Foto: Hiroshi sanjuro / Puncak Gunung Salak Dilihat dari Cijeruk,
Bogor
/ CC BY-SA 4.0 (commons.wikimedia.org)

Latar Belakang Desa dan Potensi

Kecamatan Cijeruk terletak di sisi selatan Kota Bogor, dengan kontur tanah yang bergelombang karena berada di lereng Gunung Salak. Udara di sana begitu sejuk, memiliki curah hujan yang cukup, dan tanah vulkanik yang kaya akan mineral menjadi modal alamiah. Hal ini, membuat wilayah Cijeruk sangat cocok untuk pertanian hortikultura.
Bagi masyarakat setempat, bertani sekadar mata pencaharian, melainkan warisan leluhur yang harus selalu dijaga. Sejak dari pagi buta, para petani sudah turun ke kebun. Ada yang menanam cabai dengan penuh ketelitian karena harganya bisa fluktuatif. Ada pula yang merawat jahe yang memiliki komoditas makin naik daun setelah pandemi karena banyak manfaat bagi kesehatan. Bawang merah dan sayuran hijau pun tumbuh subur, melengkapi ragam hasil tani yang membuat Cijeruk begitu istimewa.
Tak hanya itu, Cijeruk juga dikenal dengan ubi lokalnya yang legit. lada dengan aromanya yang khas, kacang tanah yang begitu gurih, serta edamame yang mulai menjadi komoditas unggulan. Edamame yang dahulu dianggap asing, kini justru menjadi primadona yang karena diminati pasar internasional.
Meskipun begitu, petani Cijeruk menghadapi tantangan klasik klasik yakni hasil panen sering kali dijual dalam bentuk mentah dengan harga rendah. Pasar lokal di Bogor memang menyerap sebagian, tetapi akses menuju jaringan distribusi lebih luas seperti Jabodetabek masih terbatas. Petani juga belum banyak yang memiliki kemampuan atau fasilitas untuk mengolah hasil tani menjadi produk bernilai tambah.
Di titik inilah muncul refleksi bahwa kekayaan alam ternyata tidak otomatis menjamin kesejahteraan. Tanpa adanya pengelolaan yang baik, maka hasil bumi yang melimpahkan hanya akan menjadi cerita tentang tanah subur yang kurang dimanfaatkan. Maka, kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat Cijeruk adalah memperluas akses pasar, meningkatkan kemampuan pengolahan, dan memberi nilai tambah pada produk hortikultura mereka.
Hal inilah, yang membuat kehadiran program seperti Desa Sejahtera Astra menjadi sangat begitu relevan. dia bukan hanya menjawab kebutuhan ekonomi, melainkan juga menyentuh dimensi sosial dan kultural. Bagaimana desa agar tetap menjaga tradisi bertani, sekaligus menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.

Peran DSA dalam Pengembangan Hortikultura

Ilustrasi petani di lahan sayuran. Photo by Max Smith on Unsplash

Perjalanan DSA dalam mengembangkan sektor hortikultura di Cijeruk tidak berhenti pada gagasan besar semata. Program ini tumbuh dari langkah-langkah nyata di lapangan. Mulai dari pemberdayaan petani, penguatan akses pasar, hingga inovasi produk lokal. Setiap kegiatan yang dijalankan memiliki benang merah yang sama, yakni menciptakan ekosistem pertanian yang sehat, mandiri, dan berdaya saing.

Berikut beberapa langkah konkret yang telah menjadi wujud nyata peran DSA di tengah masyarakat Cijeruk:

a. Penguatan Bagi Petani Lokal

Di sebuah balai desa yang sederhana, para petani duduk melingkar mengikuti pelatihan. Mereka belajar tentang penggunaan pupuk organik, teknik budidaya modern, hingga cara menjaga kualitas tanah agar tetap subur. Ada wajah-wajah yang semula ragu, perlahan berubah menjadi penuh semangat. Edukasi ini tidak hanya menambah ilmu, tetapi juga membangun rasa percaya diri bahwa mereka mampu bersaing dengan petani dari daerah lain.

b. Peningkatan Akses Pasar

Tidak lagi hanya mengandalkan pasar tradisional di Bogor, DSA membuka jalur distribusi ke Jabodetabek. Bahkan ada perbincangan serius dengan eksportir hortikultura yang tertarik membawa jahe dan edamame Cijeruk ke luar negeri. Refleksi penting muncul di sini, dengan akses pasar yang lebih luas berarti harga yang lebih stabil, dan pada akhirnya kesejahteraan petani bisa meningkat.

c. Inovasi Produk

DSA juga mendorong diversifikasi. Jahe tidak lagi sekadar dijual dalam bentuk rimpang, tetapi diolah menjadi minuman herbal instan yang praktis. Edamame dikemas beku sehingga bisa bertahan lebih lama, sementara cabai dijemur dan dijadikan cabai kering bernilai lebih tinggi. Bahkan mulai ada upaya branding: label khusus yang menandai produk “Sehat Asal Cijeruk.” Ini bukan hanya soal kemasan, tetapi soal identitas yang ingin dikenalkan ke masyarakat luas.

d. Pemberdayaan Komunitas

Yang tak kalah penting, DSA menyentuh aspek sosial. Koperasi petani dan kelompok wanita tani mulai bergerak, membuka lapangan kerja baru di sektor pascapanen dan pemasaran. Seorang ibu di Desa Cipelang bercerita bagaimana dia kini bisa membantu ekonomi keluarga dengan ikut mengolah jahe menjadi minuman serbuk. Refleksi pun mengalir: pemberdayaan bukan hanya soal uang, tetapi tentang rasa memiliki dan percaya diri masyarakat terhadap potensi mereka sendiri.

Dampak dan Manfaat Program DSA

Seiring berjalannya waktu, tanda-tanda perubahan mulai terlihat. Berikut beberapa dampak dan manfaat program DSA di Cijeruk di berbagai sektor, diantaranya:

  • Ekonomi

Pendapatan petani meningkat. Tidak lagi hanya mengandalkan harga pasar yang fluktuatif, mereka kini punya produk olahan dan jaringan pemasaran yang lebih stabil. Beberapa UMKM baru bermunculan, terutama yang bergerak di bidang pengolahan hasil tani. Sosial Gotong royong makin terasa. Warga yang dahulu bekerja sendiri-sendiri kini terbiasa berkumpul, berdiskusi, dan membangun usaha bersama. Kemandirian pangan desa mulai tumbuh. Mereka tak lagi sekadar menanam untuk kebutuhan harian, tetapi juga berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang.

Pemandangan sawah yang indah di Cijeruk
(airterjuncijerukbogor.blogspot.com)

  • Lingkungan

Dengan praktik pertanian ramah lingkungan, lahan di kaki Gunung Salak tetap terjaga. Penggunaan pupuk organik membuat tanah lebih sehat, air tetap bersih, dan keanekaragaman hayati terlindungi. Refleksi saya sebagai penulis bahwa di era perubahan iklim, langkah kecil seperti ini justru menjadi kontribusi besar.

  • Inspirasi Nasional

Melihat geliat Cijeruk, kita bisa membayangkan sebuah model desa hortikultura yang bisa ditiru daerah lain. Desa yang tidak hanya menghasilkan pangan sehat, tetapi juga punya daya saing hingga ke pasar global.


Peluang ke Depan

Cerita Cijeruk belum selesai. Justru, babak baru sedang dimulai, menandai fase di mana potensi desa tidak hanya dilihat sebagai hasil bumi, melainkan juga sebagai peluang ekonomi, edukasi, dan sosial yang lebih luas. Dari lereng Gunung Salak, visi masa depan mulai terbentuk, dan ada beberapa jalur yang bisa ditempuh untuk mewujudkannya.

  • Menembus Pasar Internasional: Potensi Ekspor

Jahe dan edamame Cijeruk kini menarik perhatian pasar internasional. Dengan kualitas terjaga dan produksi yang konsisten, bukan hal mustahil suatu hari nanti kemasan “Produk Desa Cijeruk – Indonesia” hadir di rak supermarket luar negeri. Bayangan itu bukan sekadar mimpi, melainkan cita-cita yang bisa dicapai lewat kerja keras petani, inovasi pengolahan, dan semangat untuk terus belajar.

  • Menghidupkan Desa Lewat Pengalaman: Agro-Wisata

Selain ekspor, panorama Gunung Salak memberi modal besar bagi agro-wisata. Bayangkan paket wisata lengkap, di mana pengunjung memetik edamame langsung dari kebun, belajar membuat minuman herbal dari jahe bersama ibu-ibu desa, lalu menikmati kulainer lokal di tengah udara sejuk pegunungan. Anak-anak kota yang pertama kali mencabut edamame, atau keluarga yang belajar memetik jahe, akan pulang dengan pengalaman tak terlupakan dan rasa cinta terhadap produk lokal. Wisata berbasis pertanian ini menjadi sumber ekonomi baru sekaligus sarana edukasi bagi masyarakat luas.

  • Kekuatan Bersama: Sinergi

Semua peluang besar itu tidak akan berjalan sendiri. Astra sebagai pendamping, pemerintah sebagai fasilitator, dan masyarakat sebagai pelaku utama harus berjalan beriringan. Sinergi bukan sekadar strategi ekonomi, tetapi warisan sosial berupa jalan yang dibangun, sekolah yang diperjuangkan, dan pasar yang dibuka. Berkat kolaborasi ini, akan menjadi manfaat nyata bagi generasi berikutnya. Desa hanya bisa maju jika ada kolaborasi yang kuat, dan setiap langkah kecil hari ini menentukan arah perjalanan Cijeruk pada masa depan.

Penutup

Cijeruk telah membuktikan bahwa potensi desa tidak boleh dipandang sebelah mata. Dari tanah subur di lereng Gunung Salak, lahirlah komoditas hortikultura yang mampu menopang kebutuhan domestik sekaligus membuka jalan ke pasar internasional. Melalui program Desa Sejahtera Astra, desa-desa seperti Tajurhalang, Sukaharja, Tanjungsari, Palasari, dan Cipelang bertransformasi menjadi ikon lumbung pangan sehat.
Harapannya sederhana tetapi mendalam, dukungan berkelanjutan harus terus diberikan, agar petani desa makin sejahtera dan produk hortikultura Indonesia kian mendunia. Pada akhirnya, pesan yang begitu indah wajib untuk direnungkan: “Dari tanah Cijeruk yang subur, lahirlah pangan sehat untuk Indonesia dan dunia.”#APAxKBN2025

Ilustrasi map Cijeruk, Bogor(www.maplandia.com)

Sumber Foto dan Referensi:

https://www.perumperindo.co.id/sejarah-gunung-salak/

https://commons.wikimedia.org/wiki/File%3APuncak_Gunung_Salak_Dilihat_dari_Cijeruk%2C_Bogor.jpg?utm_source=

https://airterjuncijerukbogor.blogspot.com/2014/08/wisata-curug-putri-pelangi-bogor-nan.html?sc=1759756855668#c9179560873574865025

https://www.narasilia.com/2024/11/mengolah-kekayaan-alam-organik-di-desa-sejahtera-astra-tajur-halang.html

https://bogor-kita.com/edamame-dan-cabai-keriting-ditaman-tumpang-sari-di-desa-sukamanah/

https://www.metrobogor.com/bisnis/107115147623/kacang-edamame-jadi-komoditas-unggulan-desa-sukamanah?

https://www.tjapbukitmas.co.id/product-details/1?utm_source=