Aku Dina, singlemoms dari tiga orang anak. Tahun ini
memasuki tahun kelima sejak kepergian almarhum ayah anak-anak. Kesedihan dan
kehilangan dari satu sayap, bagaikan pohon tumbang yang tak mungkin bisa tumbuh
lagi. Trauma ini menyebabkan aku mengalami depresi dan anxiety disorder yang
berakhir di meja konsultasi psikiater dan psikolog, dengan berbagai terapi.
Butuh waktu yang panjang bagi Dina menerima jika kekasih hatinya telah pergi
untuk selamanya.
Seiring waktu berjalan, Dina akhirnya bisa keluar dari gua
kedukaannya. Dengan mencoba bekerja di luar rumah, bermula menjadi guru relawan
di sebuah taman kanak-kanak yang tidak jauh dari rumahnya. Dengan berinteraksi
dengan murid sedikit banyak telah membantu Dina dapat melupakan duka dan
kesedihannya. Murid taman kanak-kanak yang begitu polos sangat membantu Dina
mengobati kesedihan dan mengisi waktu luangnya. Sejak itu hari-harinya dipenuhi
keceriaan wajah anak-anak yang selalu banyak cerita dan permintaan. Walau
aktivitasnya melelahkan tapi ada nilai kebahagiaan yang tak dapat diukur dengan
apapun. Dina harus bekerja keras agar dapat mencukupi kebutuhan hidup dia dan
ketiga orang anaknya.
Melalui pertolongan teman almamater dari almarhum suaminya,
Dina akhirnya mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang membantu mencukupi
finansial keluarga. Dina sadar kalau saat ini, dia adalah kepala rumah tangga
dan tulang punggung bagi ketiga anak-anaknya. Sejak pagi hingga sore waktu Dina
dihabiskan berkutat dengan pekerjaan di kantor, sepulang kantor dan saat tiba
di rumah hanya sebagai tempat untuk melepaskan lelah.
Tok .. tok .. Dina mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan
salam, "Assalamualaikum, ibu pulang."
"Wa'alaikumsalam, jawab Alif begitu membuka pintu untuk
sang ibu. Alif anak bungsu Dina yang menemaninya di rumah, sedangkan kedua
putrinya tinggal di kota Bandung melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi.
"Ibu, capek ya?" tanya Alif. Dinapun menganggukkan
kepalanya.
"Aku ambilkan minum untuk ibu ya .. ucap Alif sambil
berlalu ke dapur mengambil segelas air putih hangat.
"Alhamdulillah, terima kasih dek" ucap Dina,
disaat dia meletakkan kembali gelas di atas meja.
Kedua ibu dan anak itu duduk di meja makan sambil bercerita
kegiatan harian mereka masing-masing. Ini sudah menjadi tradisi kebiasaan
mereka sekeluarga duduk santai di ruang makan, membicarakan semua kejadian
harian dan aktifitas apa yang akan dilaksanakan besok. Selepas kegiatan ini
mereka langsung menuju kamar masing-masing untuk beristirahat.
Dinapun bersiap menuju kamar mandi untuk membersihkan
tubuhnya agar terasa segar dan nyaman di saat istirahat malam. Selepas itu, Dina langsung membaringkan
tubuhnya sambil membuka aplikasi media sosial yang ada di gawainya. Ada
perasaan sepi yang melanda dihatinya takkala malam hari tiba. Hanya dengan
menulis di diary kesayangan sebagai obat penghibur hatinya. Buku diary ini
awalnya sebagai tugas rutin Dina, merupakan bagian dari salah satu sesi
terapi yang diberikan oleh seorang terapis.
Sekarang menulis diary sudah
menjadi candu baginya, menuangkan semua
perasaan hati yang sedang sedih, bahagia, marah dan kecewa. Begitu juga dengan
rasa merindu yang begitu mendalam pada almarhum, tapi apalah daya merindukan
kepada yang telah tiada. Tak jarang air matanya telah membasahi buku diarynya. Semua ini sering terjadi, entah apa ada obatnya. Kadang
terbersit dihatinya, mengapa semua harus terjadi begini?
Dalam keheningan, terdengar bunyi suara notifikasi dari
gawai Dina, ternyata ada yang memberikan respon pada postingan baru diupload.
Dina membaca nama tersebut : "Yanto", orang yang tidak begitu dikenal
tapi Dina mengetahui laki-laki itu merupakan teman seangkatan masa SMA. Dina
memberanikan diri berselancar membuka profil Yanto, postingan terbaru laki-laki itu yang sedang
traveling ke Yogyakarta. Rasa penasaran Dina muncul setelah mereka saling
membalas komentar di sebuah media sosial. Pembicaraan mereka berlanjut melalui
japrian, mereka terlibat percakapan pembuka saling bertanya kabar. "Gimana
kabarnya pak ?" tanya Dina. "Alhamdulillah baik, sekarang tinggal
dimana bu", Yanto membalas dengan pertanyaan balik kepada Dina. Dinapun menjawab,
"saat ini masih tinggal di Bogor, kamu sedang pergi liburan ya?".
"Asyiknya bisa traveling kemana-mana".
Percakapan mereka berdua terus berlanjut dengan menceritakan
kenangan masa SMA, guru dan sekolahan hingga menceritakan keluarga
masing-masing. Ada kebahagiaan tersendiri yang Dina rasakan ketika terlibat
percakapan panjang dengan Yanto. Dina tidak mengetahui jika teman SMA nya ini
sudah berpisah dari pasangannya. Diakhir pembicaraan Yanto pun bertanya
"Apa nanti boleh lanjut bicara melalui whatsapp Din ?" Dina mengetik
membalas, "silahkan". "Tahu nomor whatsappnya tidak?", lanjut
Dina. Yanto membalas: "Ada di grup
Alumni SMA, apa nomor yang sama ?". Dina menjawab : "iya, nomor yang
sama".
Semasa SMA Dina terkenal anak yang sangat eksklusif dan
tertutup pergaulan dengan lawan jenis. Kehidupan masa SMA hanya diisi dengan
berkutat dengan buku dan buku, untuk pergaulan dengan teman-temannya hanya
sebatas urusan pelajaran dan organisasi sekolah. Masa SMA dia tidak seperti
anak remaja seangkatannya yang memiliki begitu banyak kenangan indah termasuk
kisah asmara. Ada kebanggaan dan
kebahagiaan tersendiri bagi Yanto, bisa saling berkomunikasi dan berbagi dengan
Dina, karena dulu masa SMA tidak ada anak laki-laki yang berani untuk mendekati
Dina. Dinapun merasa ada yang beda ketika bisa saling berkomunikasi dengan
sosok yang bernama laki-laki. Selama ini Dina berusaha agar tidak terlalu
berhubungan dekat dengan para lelaki. Bisa jadi belum siap untuk membuka hatinya untuk orang lain
dan menjaga tidak terjadinya fitnah hubungan seorang janda dengan sosok yang
bernama lelaki.
Untuk saat ini Dina merasa Yanto sebagai teman ngobrol yang
asyik, kebetulan mereka berdua memiliki status yang sama. Sejak percakapan di
media sosial itu, Dina dan Yanto jadi lebih intensif walau hanya sekedar
menanyakan kabar dan selalu ada bahan obrolan baru yang mereka bicarakan.
Lambat laun, timbul rasa kenyamanan yang terhubung diantara mereka berdua. Saat Dina merasa gundah pasti akan menceritakan dan meminta saran kepada Yanto
begitu juga sebaliknya dengan Yanto.
Hadirnya sosok Yanto dalam keseharian, mengubah suasana hati
Dina yang selama ini merasakan adanya kesunyian menjadi penuh cerita dan canda
tawa. Dina tidak mengetahui apakah Yanto merasakan seperti hal yang sama
dengannya. Hubungan mereka semakin dekat dan selalu diisi dengan hal-hal baru
diantara mereka. Usia Dina dan Yanto bukan usia muda lagi sehingga muncul rasa
malu pada diri Dina, jika mereka sampai terlibat dalam hubungan asmara atau
hubungan percintaan. Tapi cinta itu tidak pernah memandang usia, status dan
kedudukan seseorang. Belum ada percakapan serius terkait kelanjutan status
hubungan diantara mereka berdua.
"Mungkinkah Dina jatuh cinta lagi?"