Saturday, November 29, 2025

Kuliner Wajib Dicoba Saat Berkunjung ke Kota Curup

Konten [Tampil]




www.indonesia-tourism.com

Kalau kamu belum pernah mendengar tentang Kota Curup, kamu tidak sendirian. Kota kecil di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, ini sering luput dari peta wisata, padahal menyimpan sejuta rasa dan cerita. Udara Curup sangat sejuk, alamnya tenang, dan yang paling kuingat sejak kecil adalah aroma makanan tradisional yang seakan menempel di udara setiap sudut kotanya.

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Curup, aku selalu merasa kota ini punya pesona unik—bukan hanya dari pegunungan dan sayur-mayurnya yang segar, tetapi juga dari kuliner khas Curup yang membuat siapa pun ingin kembali lagi.
Di blog ini, izinkan aku mengajakmu mencicipi satu per satu kuliner yang wajib kamu coba jika berkunjung ke Curup.

1. Gunjing: Kudapan Pagi yang Legendaris

Setiap pagi, aroma gunjing adalah tanda hari baru dimulai.
Kue tradisional ini dibuat dari tepung beras dan kelapa parut, dimasak dalam loyang kecil—mirip bandros khas Bogor.

Ada dua varian:

  • Original, gurih dan lembut.

  • Gula merah, manis dan harum.

Sederhana sekali, tetapi rasanya selalu berhasil menghangatkan suasana pagi di Curup. Kalau aku pulang kampung, gunjing biasanya jadi makanan pertama yang kucari.

2. Pempek Panggang Lapangan Setia Negara: Ikon Nongkrong Anak Muda

Siang atau sore, Lapangan Setia Negara selalu hidup.
Anak-anak muda biasa nongkrong sambil menikmati pempek panggang khas Curup yang dibakar perlahan di atas bara.

Bukan memakai cuko.
Pempek ini dibelah di tengah, diisi:

  • ebi halus,

  • sambal cabai merah kriting,

  • dan kecap.

Aromanya pedas–manis–asin sekaligus, dan percayalah… itu adalah aroma rindu. Aroma yang membuatku selalu ingin pulang.

3. Mie Pangsit Curup: Sarapan Andalan Warga

Belum sah ke Curup kalau belum makan mie pangsit Curup.
Mienya lembut, kuahnya ringan tapi berbumbu, dan pangsitnya punya karakter rasa khas yang hanya bisa ditemukan di kota ini.

Ini adalah menu sarapan yang tak pernah gagal mengingatkanku saat sarapan pagi bersama kelurga.

4. Kerupuk Kemplang (Kerupuk Bakar)

Oleh-oleh wajib dari Curup!
Kemplang dibakar hingga mengembang, menghasilkan aroma smokey yang khas. Gurihnya pas dan cocok dimakan kapan saja—entah sebagai camilan atau teman lauk.

Hasil tangkapan layar searching google.com

5. Lemea: Cita Rasa Asli Suku Rejang

Yang satu ini adalah identitas kuliner masyarakat Rejang.
Lemea dibuat dari ikan yang difermentasi dengan batang tebu muda parut.

Rasanya:

  • gurih,

  • sedikit asam,

  • dengan aroma fermentasi yang khas.

Meskipun aku bukan asli suku Rejang, lemea tetap menjadi hidangan wajib setiap kali pulang kampung. Bagiku, lemea bukan sekadar makanan—ia adalah simbol rumah, budaya, dan ingatan masa kecil yang tidak tergantikan.

6. Mie Celor & Miso Mang Midi: Dua Legenda yang Tak Pernah Hilang

Curup juga kebagian sentuhan khas Palembang dan Sumatra Selatan.

  • Mie Celor: Kuah santannya creamy, kaya udang, dan sangat cocok dinikmati saat udara Curup yang sejuk.

  • Miso Mang Midi: Ini legenda! Kuahnya bening gurih, topping-nya lengkap, dan rasanya konsisten sejak puluhan tahun lalu.

Kalau tanya warga Curup, hampir semua pasti punya memori dengan Miso Mang Midi.

7. Lemang Tapai: Manis, Hangat, Mengenyangkan

Perpaduan lemang yang dibakar dalam bambu dan tapai manis adalah hidangan favorit saat sore. Teksturnya lembut, manisnya pas, dan sangat cocok dinikmati sambil duduk santai melihat kabut turun.

8. Sate Padang

Sate Padang di Curup juga terkenal nikmat. Kuahnya kental, pedas, dan wangi rempah. Biasanya dijadikan pilihan cemilan malam bukan hanya porsinya mengenyangkan tetapi rasanya juga bikin nagih.

9. Sambal Tempoyak: Primadona Musim Durian

Di Curup, musim durian adalah musim penuh kebahagiaan.
Tempoyak—fermentasi durian yang dimasak dengan cabai—adalah bintangnya.

Rasanya:

  • pedas,

  • asam,

  • creamy,

  • dan unik.

Paling enak disantap bersama ikan bakar. Ini adalah menu khas yang hanya muncul di momen tertentu, sehingga terasa sangat spesial.

10. Kopi Khas Curup: Penutup Perjalanan Kuliner

Jangan lupa mencicipi kopi Curup—kopi dari dataran tinggi Rejang yang aromanya kuat tapi lembut di lidah. Cocok jadi teman bersantai sambil menikmati udara pegunungan yang dingin dan tenang.

Penutup

Curup bukan hanya kota kelahiranku; ia adalah rumah bagi rasa-rasa yang membentuk kenangan masa kecil dan kedewasaanku. Setiap makanan di kota ini punya cerita, punya jiwa, dan membawa kehangatan tersendiri.

Bagaimana kuliner khas dari kota kelahiranmu


Sunday, November 23, 2025

Qodarullah… Malam yang Menghangatkan Hati di Kinara Cozy Kost

Konten [Tampil]

Aku bersama Teh Indari Mastuti. (Dokumen Pribadi)

Jujur, aku tidak pernah menduga bahwa malam itu menjadi salah satu momen yang akan membekas dalam hatiku. Hari-hariku sebelumnya cukup melelahkan. HP-ku baru saja selesai diservice setelah terkena virus—gara-gara banyak game yang diunduh cucuku, Arumi. Padahal, aku sedang dikejar deadline editing video. Biasanya aku jarang membuka pesan masuk, apalagi saat sedang fokus.

Tapi Qodarullah… malam itu berbeda. Ada sesuatu yang membuatku membuka notifikasi. Dan di sanalah aku membaca kabar bahwa Teh Indari Mastuti sedang berada di Bogor.

Seakan semuanya sudah diatur oleh Allah.
Allah menggerakkan hatiku untuk membuka pesan itu.
Allah pula yang menggerakkan hati suamiku untuk mengizinkan aku pergi.
Tidak ada satu pun yang terasa kebetulan.

Aku sempat mengira jarak ke tempat beliau hanya sekitar 10–15 menit. Ternyata 20 menit juga perjalanan menuju Kinara Cozy Kost—sebuah kost-an yang menurutku sangat mewah. Sebagai alumni IPB, aku tahu betul bagaimana Dramaga dulu. Kini daerah itu berubah pesat, begitu hidup, begitu maju.

Sepanjang perjalanan aku hanya bertanya dalam hati:
Apa rencana Allah di balik undangan pertemuan mendadak ini?
Wallahu’alam. Tapi aku percaya, selalu ada pesan di balik setiap pergerakan hati.

Sebenarnya aku sudah dua kali melewatkan momen bertemu Teh Indari—saat kopdar Bogor aku sakit, dan saat ulang tahun Indscript kondisiku tidak memungkinkan. Maka ketika mendengar beliau berada di Bogor, aku hanya ingin hadir. Tidak ingin kehilangan kesempatan lagi. Tidak ingin menyesal untuk ketiga kalinya.

Saat pintu kamar dibuka dan Teh Indari langsung memelukku erat, rasanya seperti bertemu sahabat lama yang sudah lama tak bersua. Hangat. Haru. Ada getaran syukur yang sulit kuceritakan dengan kata-kata.

Beliau begitu hangat, begitu manusiawi. Sambil berbincang dengan kami, beliau tetap melayani suaminya dan menata makanan yang baru datang. Sederhana, tetapi bagi seorang murid sepertiku—itu adalah teladan nyata tentang penghormatan, keseimbangan, dan dedikasi.

Obrolan kami mengalir tentang banyak hal—hidup, proses, perjalanan bisnis, hingga keputusan-keputusan besar yang tidak semua orang tahu. Dan aku belajar satu hal penting malam itu:
bahwa setiap orang punya perjuangan yang tidak terlihat, dan bahwa langkah teguh selalu lahir dari hati yang ditopang Allah.

Aku pulang dengan hati yang penuh.
Penuh hangat.
Penuh syukur.
Penuh semangat baru.

Pertemuan itu menguatkanku sebagai murid, sebagai penulis, sebagai seseorang yang sedang berproses menjadi lebih baik.

Qodarullah… tidak ada yang kebetulan.
Malam itu bukan hanya pertemuan di Kota Hujan,
tapi pengingat bahwa Allah selalu punya cara yang indah
untuk menguatkan langkah-langkah kecilku.

Terima kasih, Teh Indari. Semoga Allah menjaga dan memberkahi setiap langkahmu.

telah terbit di Facebook:


Luka yang Tak Terlihat: Realita Kesehatan Mental Perempuan Masa Kini

Konten [Tampil]

Seorang wanita sedang menikmati me time. (pexels.com/Armin Rimoldi)


Sudah lama blog ini sunyi. Terakhir aku menulis pada November 2025, saat pikiranku masih mencoba merapikan banyak hal yang berantakan di balik senyum yang tampak baik-baik saja. Sejak saat itu, hidup berjalan dengan ritmenya sendiri—kadang tenang, kadang kacau—meninggalkan jejak luka yang tak selalu terlihat oleh siapa pun.

Mengapa Kesehatan Mental Perempuan Sering Terabaikan

Kesehatan mental perempuan sering bekerja diam-diam. Ia tidak selalu tampak, tetapi pengaruhnya terasa hingga ke cara kita bernapas, tidur, mencintai, dan bertahan. Perempuan sering dituntut kuat, multitasking, dan selalu terlihat “baik-baik saja.” Akibatnya, stres, kecemasan, dan depresi bisa menumpuk tanpa terlihat.

Statistik menunjukkan perempuan lebih rentan terhadap gangguan mental tertentu. Namun angka-angka ini hanyalah permukaan; realitanya jutaan perempuan berjuang sendiri, menahan tangis di balik tirai kamar, atau tersenyum di tengah ruangan ramai, sementara pikiran mereka sibuk dengan kekhawatiran yang tak terlihat.

Luka yang Tak Terlihat dalam Kehidupan Sehari-hari

Aku teringat sore itu ketika pulang dari pasar. Anak-anak bermain di halaman, suami menyapa ramah, dan aku tersenyum seperti biasa. Namun, di balik senyum itu ada kecemasan yang tak bisa kujelaskan—tentang pekerjaan, tanggung jawab rumah, dan diri sendiri. Rasa lelah itu bukan hanya fisik; ia menembus pikiran dan hati. Itulah contoh nyata luka yang tak terlihat.

Cara Merawat Kesehatan Mental Perempuan

Menyadari luka yang tak terlihat bukan tanda kelemahan. Memberi ruang pada emosi, belajar berkata “tidak” tanpa rasa bersalah, dan mencari bantuan profesional adalah langkah kecil namun penting. Membuka percakapan tentang kesehatan mental perempuan membantu memecah stigma dan memberi kekuatan bagi mereka yang sedang berjuang.

Kesimpulan

Menulis hari ini adalah bagian dari penyembuhan. Semoga tulisan ini menjadi pengingat bahwa kesehatan mental perempuan sama pentingnya dengan dunia luar yang kita jaga. Dengan kesadaran, empati, dan dukungan, kita bisa melangkah lebih ringan, meski perlahan, menuju hidup yang lebih sehat dan bahagia.

"Merawat hati dan pikiranmu adalah investasi terbaik yang bisa kamu berikan pada dirimu sendiri."

Wednesday, November 12, 2025

Ayah: Cinta yang Bekerja dalam Diam

Konten [Tampil]

Ilustrasi ayah dan anak perempuannya. (freepik.com)

Ayah mungkin tak pandai mengungkapkan cinta dengan kata, tapi setiap lelah dan doanya adalah bukti kasih yang bekerja dalam diam. Sebuah refleksi hangat tentang cinta, tanggung jawab, dan ketulusan seorang ayah yang sering terabaikan tetapi selalu dirasakan.

Ayah sering kali terlihat sederhana—tak banyak bicara, tak pandai mengekspresikan kasih sayang seperti ibu. Namun di balik diamnya, tersimpan lautan makna yang jarang disadari. Ia adalah sosok yang bangun paling pagi dan pulang paling malam, bukan karena ingin jauh, tetapi karena cinta yang ia tunjukkan berbentuk tanggung jawab.


Dalam setiap langkahnya, ada perjuangan yang tak selalu diceritakan. Ia menahan lelah, menutupi cemas, dan tetap tersenyum agar keluarga merasa tenang. Ayah jarang berkata “aku sayang kamu”, tetapi cara ia memperbaiki atap bocor, memperbaiki mainan yang rusak, atau memastikan dapur tetap berasap—itulah bentuk cintanya yang paling nyata.

Kita mungkin tumbuh tanpa banyak pelukan darinya, tetapi perlindungannya terasa setiap kali kita jatuh dan belajar bangkit. Ia mengajarkan kita arti tangguh, bukan dengan kata-kata, melainkan dengan keteladanan. Dari ayah, kita belajar bahwa cinta tidak selalu lembut—kadang ia hadir dalam teguran, keheningan, atau bahkan ketegasan yang membuat kita mengerti arti hidup.

Seiring waktu, kita mulai memahami bahwa di balik wajahnya yang tampak keras, tersimpan hati yang lembut dan doa yang tak pernah putus. Ayah tak menuntut balasan, cukup melihat keluarganya bahagia sudah menjadi kebahagiaan baginya.

Kini, setiap kali rindu, kita sadar—betapa besar pengorbanan yang ia lakukan dalam diam. Ayah adalah cinta yang tak selalu diucapkan, tetapi selalu dirasakan. Ia adalah pahlawan tanpa jubah, yang mencintai tanpa pamrih, bekerja tanpa banyak kata, dan berdoa tanpa pernah berhenti.

Friday, November 7, 2025

Budaya Suku Rejang Sejarah Aksara Kaganga dan Tradisinya

Konten [Tampil]

Pakaian Adat Rejang Lebong. (Galeri Nusantara/2022)


Pagi menyingsing di kaki Bukit Barisan. Kabut perlahan naik dari dataran tinggi Bengkulu, seolah membawa bisikan masa lalu dari suku yang telah lama mengakar di tanah pegunungan, yakni Suku Rejang. Meskipun zaman telah bergerak ke arah modern, budaya Suku Rejang tetap menjadi identitas penting masyarakatnya, diwariskan dari generasi ke generasi.

Artikel ini akan membimbing pembaca mengenal lebih dekat Rejang dan budaya Suku Rejang secara edukatif tetapi ringan, mengalir seperti cerita yang tak lekang oleh waktu.

1. Asal Usul Rejang: Jejak Leluhur di Pedalaman Bengkulu

Suku Rejang. (Wikipedia)

Banyak cerita turun-temurun menyebut bahwa leluhur Suku Rejang berasal dari seorang tokoh bernama Rhe Jang Hyang (atau Rhe Hyang), yang dipercaya datang dari daerah utara Asia dan menetap di Napal Putih, Bengkulu Utara, sekitar dua ribu tahun sebelum masehi. Di sanalah ia membangun permukiman awal bernama Kutai Nuak, sebelum akhirnya kelompoknya berpindah ke wilayah Pinang Belapis (sekarang Kabupaten Lebong).

Walau unsur mitos masih kuat, para peneliti sepakat bahwa Rejang adalah salah satu suku tertua di Bengkulu, yang berkembang secara mandiri di kawasan pedalaman Bukit Barisan. Alam yang kaya hutan, sungai, dan perbukitan membentuk karakter masyarakat Rejang yang tangguh, bersahaja, dan sangat dekat dengan alam.

Sistem sosial mereka pun sudah teratur sejak dulu. Ada petulai (keluarga besar adat) dan kutei (pemimpin adat) yang menjaga hukum dan keseimbangan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa walau hidup jauh dari pesisir, masyarakat Rejang sudah memiliki struktur sosial yang rapi dan beradab.

2. Aksara Kaganga: Warisan Tertulis Identitas Rejang

Aksara Kaganga.(wikipedia)

Salah satu kebanggaan terbesar Suku Rejang adalah Aksara Kaganga, sistem tulisan tradisional yang menjadi bukti kecerdasan lokal mereka. Nama “Kaganga” diambil dari tiga huruf pertamanya: Ka-Ga-Nga.

Aksara ini merupakan bagian dari keluarga besar Surat Ulu di Sumatra Selatan, dan berakar dari aksara Brahmi/Palawa India kuno. Dulu, masyarakat Rejang menulis dengan aksara ini di atas bambu, tanduk, kulit kayu, atau rotan, mencatat pesan, hukum adat, doa, dan kisah rakyat.

Kini, Aksara Kaganga mulai diajarkan kembali di sekolah-sekolah Rejang Lebong sebagai muatan lokal (MULOK). Pemerintah daerah juga membuat buku panduan dan alat belajar agar generasi muda tidak melupakan jati dirinya. Meski tantangan besar datang dari arus modernisasi dan dominasi huruf Latin, semangat untuk melestarikannya terus tumbuh.

Aksara Kaganga bukan sekadar tulisan—ia adalah simbol kebanggaan dan kecerdasan budaya Rejang, bukti bahwa nenek moyang mereka pernah memiliki sistem pengetahuan sendiri jauh sebelum pendidikan modern masuk.

3. Tradisi Pernikahan Adat Rejang

Acara adat suku Rejang. (bengkulu.sahabatrakyat.com)

Upacara pernikahan dalam masyarakat Rejang sangat sakral. Setiap tahapannya penuh makna tentang tanggung jawab, kehormatan, dan penyatuan dua jiwa.Beberapa tahap penting antara lain:

  • Bekulo 
Musyawarah antara dua keluarga sebelum pernikahan. Ini menegaskan bahwa perkawinan bukan hanya urusan dua orang, tapi penyatuan dua keluarga besar.
  • Meletak Uang 
Simbol penyerahan tanggung jawab dan niat baik dari pihak laki-laki kepada keluarga perempuan.
  • Mengasen 
Ritual penyucian untuk menandai kesiapan kedua mempelai memasuki kehidupan baru.
  • Sembah Sujud 
Bentuk penghormatan dan permohonan maaf kepada orang tua serta leluhur.
  • Jemejai 
Tahap penyatuan dua mempelai secara adat, biasanya disertai jamuan besar bagi seluruh masyarakat.

Setiap prosesi mengajarkan nilai luhur, diantaranya menghargai keluarga, menjaga kehormatan, serta menyatukan dua hati dengan restu masyarakat dan leluhur. Pernikahan adat Rejang bukan sekadar pesta, melainkan ritual sosial dan spiritual yang mempererat hubungan antar-keluarga.

4. Tari Kejai: Gerak yang Sarat Akan Makna

Tari kejei. (pojokseni.com)

Salah satu warisan budaya paling indah dari Rejang adalah Tari Kejai. Dulu, tarian ini hanya dipentaskan pada acara adat besar seperti pernikahan atau syukuran. Gerakannya lembut, penuh penghormatan, dan diiringi musik tradisional yang khas.

Beberapa gerakannya memiliki makna simbolik, seperti:

  • Gerak Sembah – bentuk penghormatan kepada leluhur dan tamu;

  • Metik Jari – menggambarkan kerja sama antara laki-laki dan perempuan;

  • Mateak Dayung – simbol penyerahan diri kepada Tuhan;

  • Gerak Mendayung – tanda perpisahan yang indah di akhir pertunjukan.

Melalui tarian ini, masyarakat Rejang mengekspresikan rasa syukur dan harmoni hidup dengan alam serta sesama.

5. Tantangan dan Harapan Budaya Rejang

Seiring kemajuan zaman, penggunaan bahasa Rejang dan aksara Kaganga mulai jarang dipakai. Namun, upaya pelestarian terus dilakukan oleh pemerintah, komunitas budaya, dan generasi muda yang bangga akan warisannya.

Budaya Rejang tetap relevan hingga kini karena nilai-nilainya universal: kebersamaan, hormat kepada orang tua, dan keselarasan dengan alam. Nilai-nilai ini penting bagi generasi muda untuk menjaga identitas di tengah globalisasi.

Penutup

Budaya Rejang bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan cermin kearifan dan jati diri masyarakat Bengkulu. Saat seorang siswa menulis huruf “Ka” dari Aksara Kaganga, sesungguhnya ia sedang menghidupkan kembali sejarah panjang suku yang penuh makna.

Mari kita kenali dan lestarikan budaya lokal kita—karena dari sanalah akar kebanggaan sebagai bangsa tumbuh kuat dan tidak mudah goyah oleh waktu.


Daftar Referensi

Agus, I. (2013). Aksara Ka-Ga-Nga: Identitas dan Tradisi Literasi Masyarakat Bengkulu. Jurnal Humaniora, Universitas Indonesia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (1996). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Rejang Lebong. (2019). Modul Muatan Lokal Aksara Kaganga. Curup: Disdikbud Rejang Lebong.

Fitriani, D. & Yuliani, E. (2021). Pelestarian Aksara Kaganga sebagai Identitas Budaya Rejang Lebong. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Daerah, Vol. 5 No. 2.

Hidayat, R. (2017). Sistem Sosial dan Struktur Adat Masyarakat Rejang di Bengkulu. Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Indonesia.

Nasution, S. (2020). Kehidupan Sosial dan Tradisi Pernikahan Suku Rejang di Bengkulu. Jurnal Kebudayaan Nusantara, Vol. 4 No. 1.

Pemerintah Provinsi Bengkulu. (2022). Warisan Budaya Takbenda Indonesia: Aksara Kaganga dan Tari Kejai. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI.

Suharto, A. & Mansyur, S. (2015). Naskah dan Aksara Tradisional Sumatera Bagian Selatan. Jakarta: Balai Litbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI.

Tempo.co. (2023, 12 Juni). “Mengenal Suku Rejang, Suku Tertua di Bengkulu dengan Aksara Kaganga yang Unik.” 

Wikipedia Bahasa Indonesia. (2024). “Suku Rejang.” Wikipedia.org.