Monday, March 25, 2024

Berselimut Duka

Konten [Tampil]
Hari ini masuk hari ketiga suamiku mengalami koma, sejak kemarin aku dan anak-anak telah menemaninya di sebuah ruangan ICU rumah sakit di kota Bogor. Sepertinya memang harus begitu, hanya kami yang melepaskan kepergiannya karena saudaraku selepas subuh pulang ke rumah untuk beristirahat. Sejak suami mengalami koma, kami sekeluarga hanya bisa mempasrahkan diri dan memohon agar beliau diberikan kesembuhan yang terbaik menurut Allah. 

Seperti biasa dokter jaga memantau perkembangan suami dan memintaku mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk dengan kondisi suami saat ini. Pada detik-detik terakhirnya ketika akan meninggalkan kami, aku sudah tak berdaya tapi hati ini seperti mengikhlaskan sambil berbisik di hati, “pergilah mas menghadap RabbMu, aku dan anak-anak telah ridho jika ini jalan kesembuhan untukmu,” selepas itu beriringan suara alat pemantau kondisi pasienpun berbunyi tanpa henti. 

Tangisan ketiga anak-anakku semakin menjadi-jadi dan aku hanya terdiam tanpa suara tangisan maupun air mata. Para medis telah membacakan jam kepergiannya dan mengucapkan bela sungkawa. Segera aku memeluk ketiga anak-anakku dan kami menangis bersama, aku mengatakan kepada anak-anak, “berduka dan menangislah sepuas-puasnya, setelah itu kita harus segera menghentikan tangisan karena akan mempersiapkan pemakaman ayah”. Anak-anakpun hanya menganggukkan kepalanya menandakan mengerti apa yang aku maksud. 

Aku mengambil nafas dan membuang kasar sambil menelpon kedua orangtuaku, "Assalamualaikum bu, mas sudah pergi”, kalimat itu terhenti karena tenggorakan terasa tercekat dan pecahlah kembali tangisku. Akupun segera mengalihkan pembicaraan untuk meminta bantuan mempersiapkan rumah dan pemakamannya. Selanjutnya aku mengabarkan kepada keluarga suami dan terakhir rekan kerjanya.

Dada ini semakin terasa sesak, aku menghelakan nafas panjang sesaat dan bergerak cepat untuk mempersiapkan pemandian jenazah suami yang dilakukan di rumah sakit. Akhirnya proses pemandian dan mengkafankanpun telah selesai, aku diminta oleh seorang perawat jaga untuk menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit agar mempercepat kepulangan jenazah. Semua berjalan lancar dan terasa dimudahkan, kami dipersilahkan menuju area parkir ambulance dan berangkat menuju rumah. 

Pada hari itu, cuaca mendung menyelimuti kota Bogor, sepertinya alam memahami suasana hati kami. Tak terasa mendungpun bergelayut dipelupuk mata ini, bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipiku. Mobil ambulance yang kami tumpangi terus melaju cepat di jalanan yang padat, tanpa terasa telah memasuki pintu gerbang perumahan tempat kami tinggal. Suasana duka semakin terasa dengan berjejernya karangan bunga sepanjang jalan menuju rumah kami. 

My Story (Memory, 27 Oktober 2017)

No comments:

Post a Comment