![]() |
| Buku yang sedang dibaca. Photo by Vladyslav Tobolenko on Unsplash |
Mirisnya, di satu sisi kita para penggiat literasi selalu menggemakan pentingnya budaya membaca. Namun di sisi lain, aparat justru menyita buku. Bukan hanya soal hukum, tindakan itu lebih menyerupai pembodohan anak bangsa. Seakan-akan negara gentar pada sesuatu yang berada di luar jangkauan mereka: kebebasan berpikir.
Aku hanya meneruskan apa yang telah diungkapkan oleh Mbak
Lolita dalam tulisannya di Medium—opini kritis dan tajam yang membuatku
merenung lebih dalam. Membaca Emma Goldman tidak serta-merta menjadikan
seseorang perusuh. Mempelajari Karl Marx tidak otomatis menjadikan seseorang
revolusioner garis keras.
Yang sebenarnya ditakutkan bukanlah kerusuhan, melainkan
kesadaran rakyat. Kerusuhan bisa dipadamkan dengan gas air mata. Tetapi pikiran
yang tercerahkan tidak bisa dipenjarakan.
Hal ini mengingatkan pada kata Nelson Mandela: “Pendidikan
adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Jika pendidikan adalah
senjata, maka penyitaan buku justru sama saja dengan melucuti kesadaran rakyat.
Ironisnya, persoalan buku hanyalah satu wajah dari masalah
besar yang sama—rapuhnya fondasi pendidikan kita.
Setiap pagi aku membaca tujuh sampai delapan tulisan di Medium, kebetulan kemarin tulisan yang aku baca ada yang menyoroti wajah pendidikan Indonesia dari Immanuel, ia menulis “Mengapa
Pendidikan di Indonesia Terasa Sulit untuk Maju?” yang membahas beberapa “Dosa
Kolektif” dalam ekosistem pendidikan: guru yang tak merata kualitasnya,
kesejahteraan yang timpang, kurikulum yang terus berganti, anggaran 20% yang
tak pernah benar-benar utuh, hingga lemahnya birokrasi daerah.
Mas Ryandi Pratama bahkan menyebut Indonesia ibarat negeri
kincir angin. Ia menulis dengan getir:
“Bisakah bangsa yang sibuk dengan hal-hal trivial membangun
mobil listrik atau menciptakan inovasi yang mengubah dunia? Mungkin tidak. Kita
ditakdirkan menjadi bangsa kincir angin, yang justru berputar semakin kencang
ditiup angin kebodohan itu sendiri.”
Namun, Ryandi juga memberi harapan. Angin kosong itu bisa
ditangkap, diubah menjadi energi. Ada Ricky Elson dengan turbin anginnya. Ada
anak muda di kota yang membangun start-up untuk memecahkan masalah lokal. Ada
komunitas desa yang mengolah sampah jadi energi. Ada guru-guru di sekolah yang
diam-diam menyalakan nalar kritis murid-muridnya.
Mereka adalah kincir-kincir angin modern, berputar dengan
tenaganya sendiri. Mengubah riuh kebodohan menjadi energi harapan.
Uda Ivan Lanin mengingatkan soal Hansei—keberanian untuk
menilai jujur: melanjutkan yang baik, dan berani mengakhiri yang keliru.
Sayangnya, budaya malu membuat refleksi menjadi dangkal.
Kita lebih sibuk menjaga muka daripada berani belajar dari kesalahan. Tampak
pada program besar para elite politik yang lahir dari janji kampanye. Niatnya
baik, tetapi pelaksanaannya menuai sorotan. Kritik soal tata kelola atau hasil
sering dijawab dengan defensif. Tiada keberanian meninjau ulang, apalagi
menghentikannya.
Dengan gaya berbeda-beda, dari tulisan Mbak Lolita,
Immanuel, Ivan Lanin, hingga Mas Ryandi, semuanya bermuara pada satu hal:
Indonesia terasa sulit untuk maju.
Pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus gamang
menghadapi pikiran kritis—yang sejatinya justru bisa menjadi bahan bakar
kemajuan itu sendiri? Bagaimana menurutmu?
Simak opini-opini di atas:
https://medium.com/komunitas-blogger-m/indonesia-negeri-kincir-angin-8bcbcfc9040e


.png)


