Monday, September 29, 2025

Takut pada Buku ataukah Takut pada Pikiran?

Konten [Tampil]

Buku yang sedang dibaca. Photo by Vladyslav Tobolenko on Unsplash

Mirisnya, di satu sisi kita para penggiat literasi selalu menggemakan pentingnya budaya membaca. Namun di sisi lain, aparat justru menyita buku. Bukan hanya soal hukum, tindakan itu lebih menyerupai pembodohan anak bangsa. Seakan-akan negara gentar pada sesuatu yang berada di luar jangkauan mereka: kebebasan berpikir.

Aku hanya meneruskan apa yang telah diungkapkan oleh Mbak Lolita dalam tulisannya di Medium—opini kritis dan tajam yang membuatku merenung lebih dalam. Membaca Emma Goldman tidak serta-merta menjadikan seseorang perusuh. Mempelajari Karl Marx tidak otomatis menjadikan seseorang revolusioner garis keras.

Yang sebenarnya ditakutkan bukanlah kerusuhan, melainkan kesadaran rakyat. Kerusuhan bisa dipadamkan dengan gas air mata. Tetapi pikiran yang tercerahkan tidak bisa dipenjarakan.

Hal ini mengingatkan pada kata Nelson Mandela: “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Jika pendidikan adalah senjata, maka penyitaan buku justru sama saja dengan melucuti kesadaran rakyat.

Ironisnya, persoalan buku hanyalah satu wajah dari masalah besar yang sama—rapuhnya fondasi pendidikan kita.

Setiap pagi aku membaca tujuh sampai delapan tulisan di Medium, kebetulan kemarin tulisan yang aku baca ada yang menyoroti wajah pendidikan Indonesia dari Immanuel, ia menulis “Mengapa Pendidikan di Indonesia Terasa Sulit untuk Maju?” yang membahas beberapa “Dosa Kolektif” dalam ekosistem pendidikan: guru yang tak merata kualitasnya, kesejahteraan yang timpang, kurikulum yang terus berganti, anggaran 20% yang tak pernah benar-benar utuh, hingga lemahnya birokrasi daerah.

Mas Ryandi Pratama bahkan menyebut Indonesia ibarat negeri kincir angin. Ia menulis dengan getir:

“Bisakah bangsa yang sibuk dengan hal-hal trivial membangun mobil listrik atau menciptakan inovasi yang mengubah dunia? Mungkin tidak. Kita ditakdirkan menjadi bangsa kincir angin, yang justru berputar semakin kencang ditiup angin kebodohan itu sendiri.”

Namun, Ryandi juga memberi harapan. Angin kosong itu bisa ditangkap, diubah menjadi energi. Ada Ricky Elson dengan turbin anginnya. Ada anak muda di kota yang membangun start-up untuk memecahkan masalah lokal. Ada komunitas desa yang mengolah sampah jadi energi. Ada guru-guru di sekolah yang diam-diam menyalakan nalar kritis murid-muridnya.

Mereka adalah kincir-kincir angin modern, berputar dengan tenaganya sendiri. Mengubah riuh kebodohan menjadi energi harapan.

Uda Ivan Lanin mengingatkan soal Hansei—keberanian untuk menilai jujur: melanjutkan yang baik, dan berani mengakhiri yang keliru.

Sayangnya, budaya malu membuat refleksi menjadi dangkal. Kita lebih sibuk menjaga muka daripada berani belajar dari kesalahan. Tampak pada program besar para elite politik yang lahir dari janji kampanye. Niatnya baik, tetapi pelaksanaannya menuai sorotan. Kritik soal tata kelola atau hasil sering dijawab dengan defensif. Tiada keberanian meninjau ulang, apalagi menghentikannya.

Dengan gaya berbeda-beda, dari tulisan Mbak Lolita, Immanuel, Ivan Lanin, hingga Mas Ryandi, semuanya bermuara pada satu hal: Indonesia terasa sulit untuk maju.

Pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus gamang menghadapi pikiran kritis—yang sejatinya justru bisa menjadi bahan bakar kemajuan itu sendiri? Bagaimana menurutmu?

Simak opini-opini di atas:

https://medium.com/komunitas-blogger-m/indonesia-negeri-kincir-angin-8bcbcfc9040e

https://medium.com/komunitas-blogger-m/mengapa-pendidikan-di-indonesia-terasa-sulit-untuk-maju-ab1042505cdf

https://medium.com/lentera-literasi/indonesia-anti-pikiran-kritis-77755e8c8409

No comments:

Post a Comment